Klik
JAKARTA - Kapolri Tito Karnavian kembali melontarkan pernyataan yang kontroversial. Kali ini menyebut Aksi 212 melahirkan gerakan yang bertentangan dengan prinsip kebinekaan dan fatwa MUI —yang menyatakan bahwa Ahok telah menistakan Alquran dan fatwa keharaman menggunakan atribut non Muslim— telah menimbulkan gejolak di tengah masyarakat.
“Kapolri kehilangan logika yang runut… Jadi Kapolri ini keliru terus dalam merespon,” ujar Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Muhammad Ismail Yusanto, Kamis (19/1/2017).
Ismail pun merunutkan bahwa Fatwa MUI dalam kasus Ahok itu kan merespon apa yang dilakukan Ahok. Kemudian Aksi 212 juga merespon apa yang dilakukan aparat penegak hukum yang nampak lamban dalam menangani kasus Ahok. Karena itu sungguh aneh kalau Kapolri menuding fatwa MUI telah memicu keresahan atau ketidakstabilan politik, mengganggu kebhinekaan, mengganggu persatuan. Begitu juga dengan Aksi 212 yang ditudingnya mengancam kebhinekaan, persatuan. Sementara dia tidak pernah menyinggung sedikit pun ucapan Ahok.
“Semestinya, Kapolri menunjuk ‘ucapan Ahok itulah yang telah memicu munculnya fatwa MUI dan Aksi 212.’ Jadi harusnya Kapolri menunjuk ‘ucapan Ahok inilah yang telah mengancam persatuan dan kebhinekaan.’” tegas Ismail.
Menurut Ismail, ucapan Kapolri ini alih-alih meredam keresahan tetapi malah menimbulkan keresahan baru. Kalau dia berharap dengan ucapannya masyarakat menjadi damai, yang terjadi justru semakin meresahkan, karena dia telah menuding secara serampangan fatwa MUI dan juga telah menuding secara serampangan Aksi 212 yang sudah dibuktikan berjalan damai.
Sementara sampai sekarang, tindakan terhadap Ahok itu tidak seperti pada lazimnya dalam penegakkan hukum. Karena Ahok sudah jadi tersangka tidak ditahan. Ahok jadi terdakwa tidak juga diberhentikan oleh pemerintah. “Apa itu bukan diskriminasi? Apa itu tidak menimbulkan keresahan di tengah masyarakat? Kenapa Kapolri tidak menunjuk itu semua? Tapi malah menunjuk fatwa MUI dan Aksi 212?” tanyanya retoris.
Kemudian, lanjut Ismail, soal fatwa haramnya menggunakan atribut Natal, mengapa pula Kapolri tidak menunjuk mereka-mereka pimpinan perusahaan di berbagai tempat yang memaksa umat Islam memakai atribut Natal? Jelas ini menimbulkan keresahan. Nah, keresahan itu dijawab oleh MUI melalui fatwa untuk dijadikan pegangan bagi para pegawai dan para pemilik perusahaan.
“Jadi, sebenarnya MUI telah membantu dengan memberikan pegangan kepada masyarakat di tengah-tengah hegemoni pemilik modal yang bertindak sewenang-wenang sampai menyentuh titik-titik esensial seorang Muslim seperti soal akidah dan keimanan. Semestinya Kapolri menunjuk itu, dan berterima kasih kepada MUI yang telah memberikan pegangan,” pungkasnya. (mediaumat.com, 19/1/2017)
“Kapolri kehilangan logika yang runut… Jadi Kapolri ini keliru terus dalam merespon,” ujar Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Muhammad Ismail Yusanto, Kamis (19/1/2017).
Ismail pun merunutkan bahwa Fatwa MUI dalam kasus Ahok itu kan merespon apa yang dilakukan Ahok. Kemudian Aksi 212 juga merespon apa yang dilakukan aparat penegak hukum yang nampak lamban dalam menangani kasus Ahok. Karena itu sungguh aneh kalau Kapolri menuding fatwa MUI telah memicu keresahan atau ketidakstabilan politik, mengganggu kebhinekaan, mengganggu persatuan. Begitu juga dengan Aksi 212 yang ditudingnya mengancam kebhinekaan, persatuan. Sementara dia tidak pernah menyinggung sedikit pun ucapan Ahok.
“Semestinya, Kapolri menunjuk ‘ucapan Ahok itulah yang telah memicu munculnya fatwa MUI dan Aksi 212.’ Jadi harusnya Kapolri menunjuk ‘ucapan Ahok inilah yang telah mengancam persatuan dan kebhinekaan.’” tegas Ismail.
Menurut Ismail, ucapan Kapolri ini alih-alih meredam keresahan tetapi malah menimbulkan keresahan baru. Kalau dia berharap dengan ucapannya masyarakat menjadi damai, yang terjadi justru semakin meresahkan, karena dia telah menuding secara serampangan fatwa MUI dan juga telah menuding secara serampangan Aksi 212 yang sudah dibuktikan berjalan damai.
Sementara sampai sekarang, tindakan terhadap Ahok itu tidak seperti pada lazimnya dalam penegakkan hukum. Karena Ahok sudah jadi tersangka tidak ditahan. Ahok jadi terdakwa tidak juga diberhentikan oleh pemerintah. “Apa itu bukan diskriminasi? Apa itu tidak menimbulkan keresahan di tengah masyarakat? Kenapa Kapolri tidak menunjuk itu semua? Tapi malah menunjuk fatwa MUI dan Aksi 212?” tanyanya retoris.
Kemudian, lanjut Ismail, soal fatwa haramnya menggunakan atribut Natal, mengapa pula Kapolri tidak menunjuk mereka-mereka pimpinan perusahaan di berbagai tempat yang memaksa umat Islam memakai atribut Natal? Jelas ini menimbulkan keresahan. Nah, keresahan itu dijawab oleh MUI melalui fatwa untuk dijadikan pegangan bagi para pegawai dan para pemilik perusahaan.
“Jadi, sebenarnya MUI telah membantu dengan memberikan pegangan kepada masyarakat di tengah-tengah hegemoni pemilik modal yang bertindak sewenang-wenang sampai menyentuh titik-titik esensial seorang Muslim seperti soal akidah dan keimanan. Semestinya Kapolri menunjuk itu, dan berterima kasih kepada MUI yang telah memberikan pegangan,” pungkasnya. (mediaumat.com, 19/1/2017)