Klik
Oleh : Budiana Irmawan
Pernyataan Albert Einstein bernada anekdotal, "Politik lebih rumit ketimbang Fisika". Saya kira bukan dimaksudkan pengakuan Einstein bahwa Politik ilmu pengetahuan adiluhung, sembari menuding rumus E=MC² yang ia formulasikan tak berarti.
Setiap eksperimentasi sains muncul pertanyaan, sains didedikasikan untuk apa dan dikendalikan oleh siapa? Pertanyaan retoris ini cukup beralasan diajukan karena sains "pisau bermata dua". Betapa tidak, Einstein menyaksikan sendiri kekejaman PD I dan kengerian bom atom ketika PD II. Ia turut berkontribusi terhadap perkembangan teknologi abad 20. Kendati Einstein mungkin tidak membayangkan penemuannya digunakan untuk modernisasi senjata pemusnah masal.
Nilai praktis sains mendukung peradaban dan martabat kemanusiaan, tetapi di tangan orang-orang tidak manusiawi bisa mendatangkan bencana kemanusiaan. Di sini urgensi Politik, kontrak sosial yang menjamin sains didedikasikan demi kemaslahatan. Sialnya menata kontrak sosial dengan beragam kepentingan dan persaingan tajam membuat Politik sukar diukur daripada keeksakan Fisika.
Itulah rasio instrumental yang memandang realitas di luar dirinya sebagai obyek. Sains lalu sekadar alat meraih ambisi kekuasaan dan mengeksploitasi watak rakus manusia. Jadi, pernyataan Einstein lebih menunjukan kerendahan hati seorang saintis.
Kemajuan sains memang diakui kini sampai pada level memukau. Hamid Basyaib mengkonfirmasi Raymond Kurzweil, manusia hybrid mulai tercipta tahun 2030. Jasad biologis manusia ditopang teknologi Artificially Intelelligent. Tentu fiksi yang tidak lama lagi menjadi realitas ini akan mengubah paradigma atas masa depan manusia.
Termasuk konteks kita merespon Pandemi Covid-19. Membentengi kerentanan daya imun tubuh dengan bantuan sains atau merefleksikan hakikat keberadaan umat manusia di planet Bumi. Ungkapan Rocky Gerung, "Covid-19 antibodi Bumi melawan virus manusia". Terus terang sangat menggelitik memutar logika mainstream.
Term New-Normal bukan kembali kepada kehidupan biasa sebelum pandemi tiba. Tetapi justru momentum membongkar rasio instrumental secara radikal. Antara mikrokosmos dan makrokosmos memiliki kausalitas erat. Manusia dengan lingkungannya sama-sama subyek saling mempengaruhi menjaga harmoni semesta.
Kerusakan ekologis dapat membangunkan virus tidur jutaan tahun yang tertimbun samudra es di Antartika. Sulit dibayangkan jika virus-virus purba itu bergentayangan di kehidupan modern sekarang. Melawan genom-virus Kelelawar saja sangat merepotkan.
Jangan lupa, sains berhasil menghitung usia semesta 13,8 miliar tahun sejak dentuman besar (Big Bang), dan baru 9,26 miliar tahun kemudian Bumi terbentuk. Spesies manusia atau Homo Sapiens ada 300 ribu tahun lalu, sementara ditemukan mikroba di gunung vulkanik Quebec yang berumur 3,7 miliar tahun. Dari garis waktu itu spesies manusia ternyata makhluk pendatang baru di muka Bumi. Bahkan riset mutakhir ilmuwan Amerika Serikat dan China menemukan 28 kelompok virus usia 15 ribu tahun di kedalaman es dataran tinggi Tibet.
Di titik ini, polemik sains, filsafat, dan agama yang menurut Goenawan Mohamad cenderung "Duo-Log", ibarat dua TV saling berhadapan harus diredakan dengan menengok ontologi Trilema tersebut. Immanuel Kant yang kerap kali dirujuk kaum intelektual pernah mengatakan di ujung ajalnya, _"Das Gefuhl fur Humanitat hat mich noch nicht verlassen"_. Hakikat sains, filsafat, dan agama di pertemukan oleh elan vital yang sama, yaitu humanitas.
Sains tanpa humanitas membawa malapetaka, dan filsafat refleksi humanitas dari kemungkinan natur destruktif, begitu pula agama selalu mengingatkan humanitas untuk kehidupan abadi kelak. Sains, filsafat, dan agama tiga jalan atau perspektif mencapai titik rasa perikemanusiaan kita.
Menegasikan humanitas hanya mempertebal arogansi intelektual sesuatu yang oxymoron bagi seorang intelektual. Dan paling mencemaskan prediksi Albert Einstein bisa terbukti. _"I don't know with what weapons World War III will be fought, but World War IV will be fought with sticks and stones"_.
Mau kembali ke zaman Batu bray?
Pernyataan Albert Einstein bernada anekdotal, "Politik lebih rumit ketimbang Fisika". Saya kira bukan dimaksudkan pengakuan Einstein bahwa Politik ilmu pengetahuan adiluhung, sembari menuding rumus E=MC² yang ia formulasikan tak berarti.
Setiap eksperimentasi sains muncul pertanyaan, sains didedikasikan untuk apa dan dikendalikan oleh siapa? Pertanyaan retoris ini cukup beralasan diajukan karena sains "pisau bermata dua". Betapa tidak, Einstein menyaksikan sendiri kekejaman PD I dan kengerian bom atom ketika PD II. Ia turut berkontribusi terhadap perkembangan teknologi abad 20. Kendati Einstein mungkin tidak membayangkan penemuannya digunakan untuk modernisasi senjata pemusnah masal.
Nilai praktis sains mendukung peradaban dan martabat kemanusiaan, tetapi di tangan orang-orang tidak manusiawi bisa mendatangkan bencana kemanusiaan. Di sini urgensi Politik, kontrak sosial yang menjamin sains didedikasikan demi kemaslahatan. Sialnya menata kontrak sosial dengan beragam kepentingan dan persaingan tajam membuat Politik sukar diukur daripada keeksakan Fisika.
Itulah rasio instrumental yang memandang realitas di luar dirinya sebagai obyek. Sains lalu sekadar alat meraih ambisi kekuasaan dan mengeksploitasi watak rakus manusia. Jadi, pernyataan Einstein lebih menunjukan kerendahan hati seorang saintis.
Kemajuan sains memang diakui kini sampai pada level memukau. Hamid Basyaib mengkonfirmasi Raymond Kurzweil, manusia hybrid mulai tercipta tahun 2030. Jasad biologis manusia ditopang teknologi Artificially Intelelligent. Tentu fiksi yang tidak lama lagi menjadi realitas ini akan mengubah paradigma atas masa depan manusia.
Termasuk konteks kita merespon Pandemi Covid-19. Membentengi kerentanan daya imun tubuh dengan bantuan sains atau merefleksikan hakikat keberadaan umat manusia di planet Bumi. Ungkapan Rocky Gerung, "Covid-19 antibodi Bumi melawan virus manusia". Terus terang sangat menggelitik memutar logika mainstream.
Term New-Normal bukan kembali kepada kehidupan biasa sebelum pandemi tiba. Tetapi justru momentum membongkar rasio instrumental secara radikal. Antara mikrokosmos dan makrokosmos memiliki kausalitas erat. Manusia dengan lingkungannya sama-sama subyek saling mempengaruhi menjaga harmoni semesta.
Kerusakan ekologis dapat membangunkan virus tidur jutaan tahun yang tertimbun samudra es di Antartika. Sulit dibayangkan jika virus-virus purba itu bergentayangan di kehidupan modern sekarang. Melawan genom-virus Kelelawar saja sangat merepotkan.
Jangan lupa, sains berhasil menghitung usia semesta 13,8 miliar tahun sejak dentuman besar (Big Bang), dan baru 9,26 miliar tahun kemudian Bumi terbentuk. Spesies manusia atau Homo Sapiens ada 300 ribu tahun lalu, sementara ditemukan mikroba di gunung vulkanik Quebec yang berumur 3,7 miliar tahun. Dari garis waktu itu spesies manusia ternyata makhluk pendatang baru di muka Bumi. Bahkan riset mutakhir ilmuwan Amerika Serikat dan China menemukan 28 kelompok virus usia 15 ribu tahun di kedalaman es dataran tinggi Tibet.
Di titik ini, polemik sains, filsafat, dan agama yang menurut Goenawan Mohamad cenderung "Duo-Log", ibarat dua TV saling berhadapan harus diredakan dengan menengok ontologi Trilema tersebut. Immanuel Kant yang kerap kali dirujuk kaum intelektual pernah mengatakan di ujung ajalnya, _"Das Gefuhl fur Humanitat hat mich noch nicht verlassen"_. Hakikat sains, filsafat, dan agama di pertemukan oleh elan vital yang sama, yaitu humanitas.
Sains tanpa humanitas membawa malapetaka, dan filsafat refleksi humanitas dari kemungkinan natur destruktif, begitu pula agama selalu mengingatkan humanitas untuk kehidupan abadi kelak. Sains, filsafat, dan agama tiga jalan atau perspektif mencapai titik rasa perikemanusiaan kita.
Menegasikan humanitas hanya mempertebal arogansi intelektual sesuatu yang oxymoron bagi seorang intelektual. Dan paling mencemaskan prediksi Albert Einstein bisa terbukti. _"I don't know with what weapons World War III will be fought, but World War IV will be fought with sticks and stones"_.
Mau kembali ke zaman Batu bray?