Klik
Oleh : H. Syahrir.,SE.,M.I.Pol.
(Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat)
Setelah melalui perdebatan yang cukup lama, akhirnya Pilkada serentak 2020 positif akan digelar di masa pandemi Corona (COVID-19) yang dijadwalkan pada 9 Desember mendatang. Untuk mendukung kegiatan Pilkada serentak di 270 daerah, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengelurakan PKPU No.5/2020 tentang tahapan, program dan jadwal Pilkada serta PKPU nomor 6/2020 tentang pelaksanaan Pilkada dalam kondisi bencana non-alam Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).
Peraturan KPU terkait dengan protokol pelaksanaan pilkada di situasi pandemi menurut penulis memiliki relevansi dan signifikansi yang kuat sehubungan penyelenggaraan pilkada di momen pandemi ini dapat dikatakan memiliki banyak hambatan maupun gangguan. Antar institusi penelenggara pilkada dengan masyarakat harus terjalin kedisiplinan, kolaborasi, dan komitmen semua pihak agar kegiatan pilkada secara serentak dapat terlaksana dengan kualitas yang optimal.
Sebuah perjuangan yang sangat berat untuk mewujudkan tidak terjadinya klaster baru penularan virus Covid-19 di kalangan pemilih maupun penyelenggara khususnya petugas pilkada (KPPS) di lapangan. Upaya dukungan yang dilakukan oleh Gugus Tugas Covid-19 untuk kesuksesan kegiatan Pilkada adalah dengan telah memetakan sebaran Covid-19 di 270 daerah yang akan melaksanakan pelaksanaan pilkada serentak. Pemetaan tersebut menunjukkan berapa banyak daerah yang dikategorikan zona merah, zona oranye, zona kuning dan zona hijau.
Dukungan Satgas Covid-19 ini jelas sangat penting untuk menentukan klasifikasi dan jenis protokol kesehatan dalam penyelenggaraan pilkada.
Terdapat beberapa tantangan dalam kegiatan pilkada serentak, diantaranya adalah tantangan teknis yang berkorelasi erat dengan pendanaan pilkada. Penerapan protokol kesehatan dalam penyelenggaraan pilkada secara pasti akan meningkatkan biaya penyelenggaraan pilkada. Sebut saja pengadaan alat pelindung diri (APD) bagi petugas di lapangan termasuk pemilih seperti masker, sabun cuci tangan, penyanitasi tangan (hand sanitizer), face sheild, termasuk baju hazmat jika diperlukan khususnya di daerah yang berkategori zona merah.
Kebijakan pengurangan kapasitas pemilih di setiap tempat pemungutan Suara (TPS) yang semula 800 menjadi 500 pemilih dengan mempertimbangkan protokol kesehatan physical distancing akan memberi konsekuensi penambahan TPS dan petugas di lapangan. Kondisi inilah yang akan mengakibatkan kenaikan biaya pelaksanaan pilkada oleh penyelenggara. Tantangan selanjutnya adalah kualitas pelaksanaan pilkada. Salah satu indikator penentu kualitas pilkada adalah tingkat partisipasi masyarakat.
Persoalan partisipasi pemilih dalam pilkada di tengah pandemi merupakan tantangan yang sangat berat bagi penyelenggara pemilu. Meningkatkan partisipasi sekitar 106 juta pemilih di 270 daerah pada kondisi pandemi bukan perkara mudah, apalagi hingga mampu menyamai persentase partisipasi pemilih seperti pilkada serentak 2018 lalu sekitar 73,24 persen.
Tugas utama penyelenggara pilkada harus memastikan keamanan dan keselamatan pemilih atas ancaman penularan Covid-19 pada saat melakukan pencoblosan. Di samping itu, optimalisasi sosialisasi pelaksanaan pilkada harus sudah terlaksana jauh hari sebelum dilaksanakannya pilkada agar tidak melahirkan rendahnya tingkat partisipasi masyarakat dalam pilkada serentak.
Kondisi yang sangat tidak diharapkan apabila adanya peningkatan partisipasi masyarakat dalam kegiatan pilkada karena masifnya praktik politik uang (money politic) dari para kandidat maupun petahana untuk membagi-bagi uang, sembako dan sejenisnya.
Penyelenggaraan Pilkada jangan sampai memberikan peluang untuk melahirkan praktik klientelisme politik yaitu sikap permisif yang dilakukan oleh para aktor dalam pilkada yang di dalamnya di antaranya pemilih dan pegiat kampanye memberikan dukungan kepada kandidat namun dengan imbalan bantuan dan pemanfaatan material lainnya. Di sisi yang lain, kandidat menggunakan metode klientelistik untuk memenangkan pemilihan dengan membagi bantuan, uang kepada calon pemilih dengan hadapan agar dipilih.
Terkait dengan berbagai permasalahan pelaksanaan Pilkada serentak di tengah Pandemi, memunculkan kekhawatiran publik, apakah Pilkada ini dapat diselenggarakan dengan aman, nyaman, sehat dan berkualitas ?
Memang ada sejumlah kekhawatiran terhadap penyelenggaraan Pilkada ini dikarenakan kondisi yang tidak aman dan tidak sehat, dalam pelaksanaan tahapan dan program Pilkada, maka yang muncul adalah sikap permisif dan mengabaikan pelanggaran terhadap aturan yang ada oleh petugas lapangan. Pengalaman buruk Pemilu serentak 2019 yang lalu masih membayangi penyelenggara Pilkada ini, terutama dengan adanya petugas KPPS yang meninggal di saat pelaksanaan Pemilu serentak.
Pemilu serentak dalam keadaan normal saja sudah tinggi tekanan yang dihadapi oleh penyelenggara, apalagi Pilkada yang dilaksanakan di bawah risiko terinfeksi COVID-19. Kalau hal ini tidak mendapat perhatian serius, maka TPS yang didatangi oleh masyarakat sebagai pemilih akan menjadi kluster baru penularan COVID-19. Kondisi ini harus bisa diantisipasi oleh KPU dan Bawaslu sebagai penyelenggara Pilkada. Dalam kondisi ini, KPU Daerah tentu harus melengkapi petugasnya dengan Alat Pelindung Diri (APD) agar mereka aman dan selamat dalam melaksanakan tugasnya sehingga tidak terinfeksi virus covid.
Banyak pihak beranggapan bahwa Pilkada pada masa Pandemi COVID-19 ini terasa terlalu dipaksakan. Hal ini terlihat dari kesiapan penyelenggara yang terlihat tidak optimal dan ditunjang minimnya dukungan anggaran kegiatan yang sudah ditetapkan. Dengan adanya keharusan mengikuti protokol kesehatan dalam pelaksanaan Pilkada ini, maka mau tidak mau berharap tidak terjadi diskriminasi antara paslon satu dengan paslon yang lain.
Jangan sampai pasangan petahana misalnya lebih diutamakan. Perlakuan yang dilakukan harus sama dalam rangka penegakan integritas, kredibilitas, transparansi dan akuntabilitas hasil pilkada serentak.Kehadiran pemilih ini jugu berkorelasi dengan masalah ekonomi masyarakat yang terdampak akibat pandemi COVID-19 ini.
Tidak sedikit mereka yang bekerja di sektor informal merasakan pengaruh COVID-19 ini pada kehidupan mereka. Jika kelompok ini dihadapkan pada pilihan apakah mereka harus pergi bekerja memenuhi kebutuhan hidup dan mendapatkan uang atau harus datang ke TPS, tentu pilihan realistisnya adalah bekerja.
Untuk menurunkan beratnya tekanan terhadap penyelenggara Pilkada agar berjalan aman, sehat dan berkualitas, tentu semua pihak harus berperan membantu pelaksanaan Pilkada ini.
Persoalannya sekarang adalah bagaimana pihak-pihak tersebut mengambil peran untuk menyukseskan Pilkada dalam kondisi pandemi. Pilkada di momen pandemi perlu ditekankan pada teknis penyelenggaraan pilkada yang harus berjalan dengan baik. Persoalan teknis yang memengaruhi kualitas pilkada harus diantisipasi agar tidak terjadi dalam kegiatan demokrasi lokal ini.
Selain itu yang harus diperhatikan adalah memastikan output dari pilkada yaitu menghasilkan kepala daerah yang bersih baik dalam cara memenangkan pilkada maupun program kerja yang ditujukan untuk kepentingan publik daerah. Pilkada harus menghasilkan pemimpin daerah yang mampu menyejahterakan masyarakat di daerah dan bukan kepala daerah yang korup atau dihasilkan dari dinasti politik yang kotor.
Secara ringkas terdapat beberapa prinsip pelaksanaan Pilkada di masa pandemi, yaitu perlindungan keamanan jiwa dan kesehatan yang maksimal terhadap semua pihak yang terlibat dalam pelaksanaan pilkada mulai dari hulu sampai hilir tahapan Pilkada. Selain itu jangan sampai penyelenggara dan masyarakat tertular covid-19. Atau jangan sampai ada klaster penyelenggara.
Prinsip selanjutnya adalah ketersediaan kerangka hukum yang adaptif tetapi tetap akuntabel dalam pelaksanaan Pilkada. Kerangka hukum ini yang pro pada keamanan dan kesehatan semua pihak. Selain itu harus terdapat prinsip dukungan anggaran dan logistik yang tepat waktu.
Adanya keharusan di setiap TPS yang wajib menyediakan masker, sarung tangan dan hand sanitizer serta didukung oleh logistik yang lebih dari cukup dan distribusinya tepat waktu. Ini semua otomatis memerlukan anggaran tambahan. Prinsip lainnya adalah adanya komitmen semua pihak untuk menjaga keberlanjutan tahapan pilkada yang jujur, adil, dan demokratis.
Penulis berharap tidak terjadi diskriminasi antara paslon satu dengan paslon yang lain. Jangan sampai pasangan petahana misalnya lebih diutamakan. Perlakuan yang dilakukan harus sama dalam rangka penegakan integritas, kredibilitas, transparansi dan akuntabilitas hasil pilkada serentak. (*).
(Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat)
Setelah melalui perdebatan yang cukup lama, akhirnya Pilkada serentak 2020 positif akan digelar di masa pandemi Corona (COVID-19) yang dijadwalkan pada 9 Desember mendatang. Untuk mendukung kegiatan Pilkada serentak di 270 daerah, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengelurakan PKPU No.5/2020 tentang tahapan, program dan jadwal Pilkada serta PKPU nomor 6/2020 tentang pelaksanaan Pilkada dalam kondisi bencana non-alam Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).
Peraturan KPU terkait dengan protokol pelaksanaan pilkada di situasi pandemi menurut penulis memiliki relevansi dan signifikansi yang kuat sehubungan penyelenggaraan pilkada di momen pandemi ini dapat dikatakan memiliki banyak hambatan maupun gangguan. Antar institusi penelenggara pilkada dengan masyarakat harus terjalin kedisiplinan, kolaborasi, dan komitmen semua pihak agar kegiatan pilkada secara serentak dapat terlaksana dengan kualitas yang optimal.
Sebuah perjuangan yang sangat berat untuk mewujudkan tidak terjadinya klaster baru penularan virus Covid-19 di kalangan pemilih maupun penyelenggara khususnya petugas pilkada (KPPS) di lapangan. Upaya dukungan yang dilakukan oleh Gugus Tugas Covid-19 untuk kesuksesan kegiatan Pilkada adalah dengan telah memetakan sebaran Covid-19 di 270 daerah yang akan melaksanakan pelaksanaan pilkada serentak. Pemetaan tersebut menunjukkan berapa banyak daerah yang dikategorikan zona merah, zona oranye, zona kuning dan zona hijau.
Dukungan Satgas Covid-19 ini jelas sangat penting untuk menentukan klasifikasi dan jenis protokol kesehatan dalam penyelenggaraan pilkada.
Terdapat beberapa tantangan dalam kegiatan pilkada serentak, diantaranya adalah tantangan teknis yang berkorelasi erat dengan pendanaan pilkada. Penerapan protokol kesehatan dalam penyelenggaraan pilkada secara pasti akan meningkatkan biaya penyelenggaraan pilkada. Sebut saja pengadaan alat pelindung diri (APD) bagi petugas di lapangan termasuk pemilih seperti masker, sabun cuci tangan, penyanitasi tangan (hand sanitizer), face sheild, termasuk baju hazmat jika diperlukan khususnya di daerah yang berkategori zona merah.
Kebijakan pengurangan kapasitas pemilih di setiap tempat pemungutan Suara (TPS) yang semula 800 menjadi 500 pemilih dengan mempertimbangkan protokol kesehatan physical distancing akan memberi konsekuensi penambahan TPS dan petugas di lapangan. Kondisi inilah yang akan mengakibatkan kenaikan biaya pelaksanaan pilkada oleh penyelenggara. Tantangan selanjutnya adalah kualitas pelaksanaan pilkada. Salah satu indikator penentu kualitas pilkada adalah tingkat partisipasi masyarakat.
Persoalan partisipasi pemilih dalam pilkada di tengah pandemi merupakan tantangan yang sangat berat bagi penyelenggara pemilu. Meningkatkan partisipasi sekitar 106 juta pemilih di 270 daerah pada kondisi pandemi bukan perkara mudah, apalagi hingga mampu menyamai persentase partisipasi pemilih seperti pilkada serentak 2018 lalu sekitar 73,24 persen.
Tugas utama penyelenggara pilkada harus memastikan keamanan dan keselamatan pemilih atas ancaman penularan Covid-19 pada saat melakukan pencoblosan. Di samping itu, optimalisasi sosialisasi pelaksanaan pilkada harus sudah terlaksana jauh hari sebelum dilaksanakannya pilkada agar tidak melahirkan rendahnya tingkat partisipasi masyarakat dalam pilkada serentak.
Kondisi yang sangat tidak diharapkan apabila adanya peningkatan partisipasi masyarakat dalam kegiatan pilkada karena masifnya praktik politik uang (money politic) dari para kandidat maupun petahana untuk membagi-bagi uang, sembako dan sejenisnya.
Penyelenggaraan Pilkada jangan sampai memberikan peluang untuk melahirkan praktik klientelisme politik yaitu sikap permisif yang dilakukan oleh para aktor dalam pilkada yang di dalamnya di antaranya pemilih dan pegiat kampanye memberikan dukungan kepada kandidat namun dengan imbalan bantuan dan pemanfaatan material lainnya. Di sisi yang lain, kandidat menggunakan metode klientelistik untuk memenangkan pemilihan dengan membagi bantuan, uang kepada calon pemilih dengan hadapan agar dipilih.
Terkait dengan berbagai permasalahan pelaksanaan Pilkada serentak di tengah Pandemi, memunculkan kekhawatiran publik, apakah Pilkada ini dapat diselenggarakan dengan aman, nyaman, sehat dan berkualitas ?
Memang ada sejumlah kekhawatiran terhadap penyelenggaraan Pilkada ini dikarenakan kondisi yang tidak aman dan tidak sehat, dalam pelaksanaan tahapan dan program Pilkada, maka yang muncul adalah sikap permisif dan mengabaikan pelanggaran terhadap aturan yang ada oleh petugas lapangan. Pengalaman buruk Pemilu serentak 2019 yang lalu masih membayangi penyelenggara Pilkada ini, terutama dengan adanya petugas KPPS yang meninggal di saat pelaksanaan Pemilu serentak.
Pemilu serentak dalam keadaan normal saja sudah tinggi tekanan yang dihadapi oleh penyelenggara, apalagi Pilkada yang dilaksanakan di bawah risiko terinfeksi COVID-19. Kalau hal ini tidak mendapat perhatian serius, maka TPS yang didatangi oleh masyarakat sebagai pemilih akan menjadi kluster baru penularan COVID-19. Kondisi ini harus bisa diantisipasi oleh KPU dan Bawaslu sebagai penyelenggara Pilkada. Dalam kondisi ini, KPU Daerah tentu harus melengkapi petugasnya dengan Alat Pelindung Diri (APD) agar mereka aman dan selamat dalam melaksanakan tugasnya sehingga tidak terinfeksi virus covid.
Banyak pihak beranggapan bahwa Pilkada pada masa Pandemi COVID-19 ini terasa terlalu dipaksakan. Hal ini terlihat dari kesiapan penyelenggara yang terlihat tidak optimal dan ditunjang minimnya dukungan anggaran kegiatan yang sudah ditetapkan. Dengan adanya keharusan mengikuti protokol kesehatan dalam pelaksanaan Pilkada ini, maka mau tidak mau berharap tidak terjadi diskriminasi antara paslon satu dengan paslon yang lain.
Jangan sampai pasangan petahana misalnya lebih diutamakan. Perlakuan yang dilakukan harus sama dalam rangka penegakan integritas, kredibilitas, transparansi dan akuntabilitas hasil pilkada serentak.Kehadiran pemilih ini jugu berkorelasi dengan masalah ekonomi masyarakat yang terdampak akibat pandemi COVID-19 ini.
Tidak sedikit mereka yang bekerja di sektor informal merasakan pengaruh COVID-19 ini pada kehidupan mereka. Jika kelompok ini dihadapkan pada pilihan apakah mereka harus pergi bekerja memenuhi kebutuhan hidup dan mendapatkan uang atau harus datang ke TPS, tentu pilihan realistisnya adalah bekerja.
Untuk menurunkan beratnya tekanan terhadap penyelenggara Pilkada agar berjalan aman, sehat dan berkualitas, tentu semua pihak harus berperan membantu pelaksanaan Pilkada ini.
Persoalannya sekarang adalah bagaimana pihak-pihak tersebut mengambil peran untuk menyukseskan Pilkada dalam kondisi pandemi. Pilkada di momen pandemi perlu ditekankan pada teknis penyelenggaraan pilkada yang harus berjalan dengan baik. Persoalan teknis yang memengaruhi kualitas pilkada harus diantisipasi agar tidak terjadi dalam kegiatan demokrasi lokal ini.
Selain itu yang harus diperhatikan adalah memastikan output dari pilkada yaitu menghasilkan kepala daerah yang bersih baik dalam cara memenangkan pilkada maupun program kerja yang ditujukan untuk kepentingan publik daerah. Pilkada harus menghasilkan pemimpin daerah yang mampu menyejahterakan masyarakat di daerah dan bukan kepala daerah yang korup atau dihasilkan dari dinasti politik yang kotor.
Secara ringkas terdapat beberapa prinsip pelaksanaan Pilkada di masa pandemi, yaitu perlindungan keamanan jiwa dan kesehatan yang maksimal terhadap semua pihak yang terlibat dalam pelaksanaan pilkada mulai dari hulu sampai hilir tahapan Pilkada. Selain itu jangan sampai penyelenggara dan masyarakat tertular covid-19. Atau jangan sampai ada klaster penyelenggara.
Prinsip selanjutnya adalah ketersediaan kerangka hukum yang adaptif tetapi tetap akuntabel dalam pelaksanaan Pilkada. Kerangka hukum ini yang pro pada keamanan dan kesehatan semua pihak. Selain itu harus terdapat prinsip dukungan anggaran dan logistik yang tepat waktu.
Adanya keharusan di setiap TPS yang wajib menyediakan masker, sarung tangan dan hand sanitizer serta didukung oleh logistik yang lebih dari cukup dan distribusinya tepat waktu. Ini semua otomatis memerlukan anggaran tambahan. Prinsip lainnya adalah adanya komitmen semua pihak untuk menjaga keberlanjutan tahapan pilkada yang jujur, adil, dan demokratis.
Penulis berharap tidak terjadi diskriminasi antara paslon satu dengan paslon yang lain. Jangan sampai pasangan petahana misalnya lebih diutamakan. Perlakuan yang dilakukan harus sama dalam rangka penegakan integritas, kredibilitas, transparansi dan akuntabilitas hasil pilkada serentak. (*).