Klik
JAKARTA, faktabandungraya.com,--- Vaksin COVID-19 menjadi topik hangat di ruang publik saat ini. Untuk memberikan informasi terkini dan menjawab beberapa pertanyaan masyarakat mengenai topik ini, Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN) menggelar dialog produktif dengan tajuk 'Kelanjutan Uji Klinis Vaksin Covid-19', secara Daring, Rabu (21/10/2020).
Hadir dalam dialog tersebut, Dr. Lucia Rizka Andalusia, Direktur Registrasi Obat Badan POM, dan Prof. Dr. Kusnandi Rusmil, Ketua Tim Riset Uji Klinis Covid-19 Universitas Padjadjaran.
Berikut 3 pembahasan kunci dari dialog tersebut (video selengkapnya dapat diakses di sini ):
Uji Klinis Fase 3 di Universitas Padjadjaran Berjalan Lancar, 1.620 relawan sudah terima suntikan pertama
Uji klinik vaksin Sinovac saat ini telah memasuki tahapan rekrutmen subjek terakhir di Indonesia. Per 16 Oktober 2020 terdapat 1.620 subjek sudah selesai direkrut dan mendapatkan suntikan pertama. Dengan demikian, target relawan untuk uji klinis fase 3 vaksin COVID-19 sudah sesuai dengan rencana awal.
“Dari 1.620 relawan yang dibutuhkan, yang mendaftar 2,200 (orang), jadi rupanya ingin ikut serta agar Indonesia bisa memiliki vaksin. Karena rasa cintanya pada Indonesia,” ujar Prof. Dr. Kusnandi Rusmil.
Menurut Dr Lucia Rizka Andalusia, penelitian ini telah berjalan sesuai dengan protokol dan timeline yang telah disetujui.
“Sejauh ini tidak ditemukan adanya reaksi yang berlebihan atau Serious Adverse Event, hanya reaksi ringan seperti umumnya pemberian imunisasi.”
Selanjutnya Badan POM akan melakukan monitoring secara berkala untuk mendapatkan data khasiat dan keamanan vaksin secara lengkap, serta bekerja sama dengan tim Komite Nasional Penilai Obat dan tim ahli dalam bidang vaksin untuk menilai apakah vaksin layak mendapatkan Izin Penggunaan dalam Kondisi Darurat (Emergency Use Authorization).
Data Uji Klinik di Negara Lain Bisa Digunakan untuk Emergency Use Authorization.
Menjawab pertanyaan apakah penerbitan Emergency Use Authorization harus menunggu hasil uji klinis di dalam negeri. Dr Lucia Rizka Andalusia mengatakan.
“Pada prinsipnya, suatu pendaftaran vaksin maupun obat tidak mensyaratkan (harus) dilakukan(nya) uji klinik di negara tersebut. (Badan pengawasan obat suatu) negara mempunyai independensi terhadap keputusan pemberian perizinan obat atau vaksin," ucap Dr Lucia.
"Tidak perlu harus menunggu uji klinis dari negara mana dia mengambil atau harus menunggu semuanya (selesai). Manakala sudah dirasa cukup jumlah subjeknya, dan sudah selesai, uji kliniknya bisa digunakan," imbuhnya.
Kalau dilakukan di negara tersebut akan lebih baik, katanya, Jika kita tidak melakukan uji klinik di negara kita, kita bisa menggunakan data uji klinik yang dilakukan di negara lain (untuk memutuskan Emergency Use Authorization). Demikian juga untuk vaksin ini, uji kliniknya bukan hanya dilakukan di Indonesia sendiri tapi dilakukan di multi center dilakukan di beberapa negara secara bersamaan.
Brasil yang sudah lebih dulu, jumlah subjeknya cukup besar. Jadi sekitar November dia akan selesai untuk uji klinik fase tiganya. Kemudian ada di Uni Emirat Arab, dan kemudian di Indonesia sendiri. Data-data itu akan digabungkan.
Fenomena ADE tidak ditemukan pada COVID-19
Terkait fenomena ADE yakni fenomena saat virus tersebut memiliki lebih dari satu antigen, Prof. Dr. Kusnandi Rusmil, menyampaikan. Fenomena Antibody-dependent Enhancement (ADE) yang sekarang ini sedang banyak dibicarakan, adalah fenomena yang sejauh ini baru terlihat pada demam berdarah.
“Virus COVID-19 ini telah diteliti dalam uji pra klinik dan hanya memiliki satu antigen. Sementara virus yang dikenal luas memiliki lebih dari satu antigen adalah virus demam berdarah. Hingga saat ini belum ada bukti terjadinya ADE (pada kandidat vaksin COVID-19)," terang Prof. Dr. Kusnandi Rusmil.
Perlu ditekankan, tambahnya, bahwa dari data-data subjek di uji klinik di Brasil (9.000 subjek), Uni Emirat Arab (31.500 subjek) tersebut belum ada laporan adanya fenomena ADE. (Fenomena ADE Tidak Ditemukan pada COVID-19)
Selain itu, Dr Lucia Rizka mengapresiasi Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran yang telah 26 kali melakukan uji klinis vaksin. Menurutnya, hal ini menjadi faktor penting, mengingat besarnya investasi untuk uji klinik vaksin.
“Pengembang vaksin harus sangat percaya terhadap tempat dilakukannya uji klinik tersebut. Karena nantinya, mereka mengharapkan data yang dihasilkan nantinya valid dan dapat dipertanggung jawabkan," pungkasnya. (Cuy)
Hadir dalam dialog tersebut, Dr. Lucia Rizka Andalusia, Direktur Registrasi Obat Badan POM, dan Prof. Dr. Kusnandi Rusmil, Ketua Tim Riset Uji Klinis Covid-19 Universitas Padjadjaran.
Berikut 3 pembahasan kunci dari dialog tersebut (video selengkapnya dapat diakses di sini ):
Uji Klinis Fase 3 di Universitas Padjadjaran Berjalan Lancar, 1.620 relawan sudah terima suntikan pertama
Uji klinik vaksin Sinovac saat ini telah memasuki tahapan rekrutmen subjek terakhir di Indonesia. Per 16 Oktober 2020 terdapat 1.620 subjek sudah selesai direkrut dan mendapatkan suntikan pertama. Dengan demikian, target relawan untuk uji klinis fase 3 vaksin COVID-19 sudah sesuai dengan rencana awal.
“Dari 1.620 relawan yang dibutuhkan, yang mendaftar 2,200 (orang), jadi rupanya ingin ikut serta agar Indonesia bisa memiliki vaksin. Karena rasa cintanya pada Indonesia,” ujar Prof. Dr. Kusnandi Rusmil.
Menurut Dr Lucia Rizka Andalusia, penelitian ini telah berjalan sesuai dengan protokol dan timeline yang telah disetujui.
“Sejauh ini tidak ditemukan adanya reaksi yang berlebihan atau Serious Adverse Event, hanya reaksi ringan seperti umumnya pemberian imunisasi.”
Selanjutnya Badan POM akan melakukan monitoring secara berkala untuk mendapatkan data khasiat dan keamanan vaksin secara lengkap, serta bekerja sama dengan tim Komite Nasional Penilai Obat dan tim ahli dalam bidang vaksin untuk menilai apakah vaksin layak mendapatkan Izin Penggunaan dalam Kondisi Darurat (Emergency Use Authorization).
Data Uji Klinik di Negara Lain Bisa Digunakan untuk Emergency Use Authorization.
Menjawab pertanyaan apakah penerbitan Emergency Use Authorization harus menunggu hasil uji klinis di dalam negeri. Dr Lucia Rizka Andalusia mengatakan.
“Pada prinsipnya, suatu pendaftaran vaksin maupun obat tidak mensyaratkan (harus) dilakukan(nya) uji klinik di negara tersebut. (Badan pengawasan obat suatu) negara mempunyai independensi terhadap keputusan pemberian perizinan obat atau vaksin," ucap Dr Lucia.
"Tidak perlu harus menunggu uji klinis dari negara mana dia mengambil atau harus menunggu semuanya (selesai). Manakala sudah dirasa cukup jumlah subjeknya, dan sudah selesai, uji kliniknya bisa digunakan," imbuhnya.
Kalau dilakukan di negara tersebut akan lebih baik, katanya, Jika kita tidak melakukan uji klinik di negara kita, kita bisa menggunakan data uji klinik yang dilakukan di negara lain (untuk memutuskan Emergency Use Authorization). Demikian juga untuk vaksin ini, uji kliniknya bukan hanya dilakukan di Indonesia sendiri tapi dilakukan di multi center dilakukan di beberapa negara secara bersamaan.
Brasil yang sudah lebih dulu, jumlah subjeknya cukup besar. Jadi sekitar November dia akan selesai untuk uji klinik fase tiganya. Kemudian ada di Uni Emirat Arab, dan kemudian di Indonesia sendiri. Data-data itu akan digabungkan.
Fenomena ADE tidak ditemukan pada COVID-19
Terkait fenomena ADE yakni fenomena saat virus tersebut memiliki lebih dari satu antigen, Prof. Dr. Kusnandi Rusmil, menyampaikan. Fenomena Antibody-dependent Enhancement (ADE) yang sekarang ini sedang banyak dibicarakan, adalah fenomena yang sejauh ini baru terlihat pada demam berdarah.
“Virus COVID-19 ini telah diteliti dalam uji pra klinik dan hanya memiliki satu antigen. Sementara virus yang dikenal luas memiliki lebih dari satu antigen adalah virus demam berdarah. Hingga saat ini belum ada bukti terjadinya ADE (pada kandidat vaksin COVID-19)," terang Prof. Dr. Kusnandi Rusmil.
Perlu ditekankan, tambahnya, bahwa dari data-data subjek di uji klinik di Brasil (9.000 subjek), Uni Emirat Arab (31.500 subjek) tersebut belum ada laporan adanya fenomena ADE. (Fenomena ADE Tidak Ditemukan pada COVID-19)
Selain itu, Dr Lucia Rizka mengapresiasi Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran yang telah 26 kali melakukan uji klinis vaksin. Menurutnya, hal ini menjadi faktor penting, mengingat besarnya investasi untuk uji klinik vaksin.
“Pengembang vaksin harus sangat percaya terhadap tempat dilakukannya uji klinik tersebut. Karena nantinya, mereka mengharapkan data yang dihasilkan nantinya valid dan dapat dipertanggung jawabkan," pungkasnya. (Cuy)