Drs.H.Daddy Rohanady ( Anggota DPRD Jabar) (foto:istimewa) |
Dua isu paling menonjol dalam
pembangunan Jawa Barat sepanjang tahun 2020 adalah covid-19 dan utang. Kedua
isu tersebut sangat kuat mempengaruhi kebijakan anggaran yang berkaitan dengan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Jabar, khususnya pada APBD
Perubahan 2020.
Dampak yang tidak kecil pula
menghantui APBD murni 2021 dan setiap APBD berikutnya. Mengapa?
Covid-19 menjadi pandemi yang
melanda seluruh penjuru negeri ini, bahkan seluruh negara di dunia. Virus yang
semula berasal dari Wuhan (Cina) tersebut menyebar begitu cepat. Korban pun
berjatuhan di mana-mana dan setiap hari pula.
Ketika ada dua orang pertama yang
diduga terpapar covid-19, semua menjadi heboh. Pro dan kontra pun dimulai.
Semua orang menyampaikan pendapatnya, bahkan kerap kali lebih berbau politik.
Setelah itu, suasana kian rumit.
Istilah lockdown pun seolah menjadi menu rutin setiap hari.
Banyak yang mendukung, tetapi
tidak sedikit pula yang menolak. Tarik ulur antara penanganan yang dianggap
lebih mementingkan faktor kesehatan atau faktor ekonomi pun kian alot. Lalu
muncul istilah PSBB (pembatasan sosial berskala besar) yang juga tidak kalah
ramai diperdebatkan.
Demi menangani pandemi, pada
tanggal 31 Maret 2020 Pemerintah Pusat mengeluarkan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Kebijakan Keuangan
Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus
Desease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang
Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.
Perpu tersebut kemudian dikuatkan
menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 dengan judul yang sama persis pada
tanggal 18 Mei 2020. Hal itu menunjukkan segala langkah diarahkan untuk
menanggulangi pandemi covid-19.
Undang-Undang Nomor 2 memberikan
keleluasaan kepada setiap kepala daerah untuk melakukan langkah-langkah
strategis terkait penanganan pandemi covid-19 sesuai kebutuhannya.
Hasilnya, APBD Jabar mengalami
lima kali perubahan akibat refocusing segala program/kegiatan yang disertai
realokasi anggaran. Hal itu merupakan konsekuensi logis ketika pihak eksekutif
(Gubernur Ridwan Kamil) mengalokasikan sekitar Rp 6 triliun lebih untuk
penanganan masalah kesehatan dan jaring pengaman sosial (social safety net).
Dana sebesar itu mau tidak mau
pasti menggeser banyak pos belanja. Tidak heran kalau kemudian mayoritas
organisasi perangkat daerah (OPD) terkena sinkronisasi, anggarannya
"dikurud". Rata-rata anggaran tersisa di bawah 30 persen.
Ternyata pada APBD perubahan 2020
fiscal gap kian lebar menganga. Pada saat seperti itu Pemerintah Pusat
memunculkan penawaran utang (pinjaman) ke daerah yang terdampak sangat parah,
termasuk Jabar.
Meskipun langkah-langkah yang
ditempuh sebenarnya tidak mudah, Jabar akhirnya berutang. Itulah untuk pertama
kalinya dalam sejarah Jabar berutang. Utang diberikan oleh PT Sarana Multi
Infrastruktur (SMI), salah satu Badan Usaha Milik Negara.
Total utang Jabar adalah Rp 4
triliun. Rp 1,8 triliun untuk APBD Perubahan 2020 dan Rp 2,2 triliun untuk APBD
Murni 2021. Utang tersebut memang tidak dikenai bunga. Jabar "hanya"
dibebani biaya provisi 1% (Rp 40 miliar) dan biaya administrasi 0,185% (Rp 7,4
miliar).
Dengan demikian, 48 juta penduduk
Jabar sudah memiliki utang, tanpa kecuali.
Sejatinya utang daerah
diperuntukkan guna mendorong recovery perekonomian yang terkontraksi cukup
dalam. Itu sebabnya namanya: Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Program dan
kegiatannya pun sudah diarahkan pada program dan kegiatan tertentu.
Bedasarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 43 Tahun 2020, semua usulan program/kegiatan yang akan dibiayai dana PEN
harus diberitahukan ke DPRD maksimal 5 hari sesudah pengajuan.
DPRD Jabar bersepakat meloloskan
anggaran PEN untuk APBD Perubahan 2020. Untuk program/kegiatan APBD Murni 2021,
semua akan dikaji ulang. Sayangnya, tidak satu pun terjadi. Alasan utamanya:
waktu tidak memungkinkan.
Utang Rp 4 triliun akan
dikembalikan selama delapan tahun. Berarti, selama 8 tahun tersebut akan muncul
nomenklatur baru: Pengembalian Pinjaman Daerah (Utang).
Semoga saja pemanfaatan utang
tersebut sesuai dengan peruntukannya sehingga pemulihan ekonomi Jabar cepat
terwujud. Oleh karena itu, pengawasan ekstra-ketat perlu dilakukan pada setiap
program/kegiatannya. Utang tersebut selain menjadi warisan bagi warga Jabar,
juga akan menjadi warisan untuk gubernur dan DPRD Provinsi Jabar berikutnya. (*).