Oleh: Drs.H.Daddy Rohanady (Anggota DPRD Provinsi Jabar)Drs.H.Daddy Rohanady (Anggota Komisi IV DPRD Jabar dari FPGerindra)
"Ironis" demikian
ungkapan singkat paling pas terkait dioperasionalkannya Pelabuhan Patimban
Tahap I. Betapa tidak, ada paradoks yang begitu nyata terkait perhubungan di
Jawa Barat: Patimban dioperasionalkan, tetapi Bandara Internasional Jawa Barat
(BIJB) justru tutup.
Patimban merupakan pelabuhan yang
terletak di pantai utara Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat. Pemerintah
Jabar menjadikan Patimban sebagai salah satu proyek prioritas. Pelabuhan yang
dinaungi Kementerian Perhibungan ini dikategorikan sebagai pelabuhan utama.
Artinya, dari pelabuhan ini dapat dilakukan ekspor.
Pengoperasian Patimban pasti akan
mendongkrak dana bagi hasil pajak, baik untuk Subang maupun Jabar. Hal itu
dikarenakan pajak ekspor akan diberikan kepada kabupaten dan provinsi tempat
barang naik kapal untuk diekspor.
Luas Pelabuhan Patimban
direncanakan 356,23 hektare. Pembangunannya secara keseluruhan akan menelan
biaya sebesar Rp43,22 triliun. Sumbernya adalah utang dari Jepang plus APBN dan
BUMN.
Semula pembangunannya dibagi
menjadi tiga tahap. Tahap I 2017-2019, Tahap II 2019-2026, dan Tahap II
2026-2036. Adapun kapasitasnya 7,5 juta teus dan 600.000 CBU (2036).
Selain akan menambah pendapatan
daerah, keberadaan Pelabuhan Patimban diharapkan memberi manfaat lain.
Misalnya, mengurangi tingkat pengangguran terbuka karena pastilah dibutuhkan
cukup banyak tenaga kerja di sana.
//BIJB Kertajati//
Di sisi lain kondisi berbeda
terjadi dengan BIJB Kertajati. Bandara Internasional yang diseting sebagai
bandara kebanggaan masyarakat Jabar tersebut justru ditutup. Selain karena
pandemi covid-19, dengan berbagai pertimbangan, Pemerintah Pusat memindahkan
operasional maskapai dari dan ke Jabar ke Bandara Husein Sastranegara di Kota
Bandung. Akibatnya, BIJB Kertajati seolah-olah "mati suri".
Hasilnya: tidak ada lagi
penerbangan dari/ke bandara yang terletak di Kabupaten Majalengka tersebut.
Kini bandara tersebut lebih mirip salah satu studio foto terbesar. Banyak
pengunjung yang datang ke sana hanya untuk melihat-lihat. Bahkan, tidak sedikit
yang melakukan pengambilan gambar untuk foto pra-nikah.
Penutupan BIJB Kertajati ini konon kabarnya hanya sementara. Lalu sampai kapan? Sangat tidak elok rasanya bandara yang secara keseluruhan menelan APBD Jabar sekitar Rp 6 triliun lebih itu dibiarkan terbengkalai. Belum lagi kalau dibiarkan terus seperti itu pasti operator (PT BIJB dan PT Angkasa Pura II) juga harus menutup kerugian untuk beberapa pos pembiayaan yang jumlahnya tidak kecil
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
Tentang Pemerintahan Daerah tidak menyatakan bahwa Provinsi mempunyai wewenang
dalam hal kebardarudaraan. Tampaknya kebandarudaraan memang tidak menjadi
masalah pelik untuk semua provinsi maupun kabupaten/kota. Ada masalah serius
dengan Jabar karena Jabar memiliki aset yang sangat besar di sektor ini.
Bagaimana dengan aset yg ada,
pembebasan lahan sudah 1.040 hektare dari rencana 1.800 hektare? Bagaimana
kelanjutan aerocity Kertajati?
Apa karena tanpa utang, Kertajati
ditendang, sedangkan Patimban dibiayai utang?
Jangan tanyakan soal peluang atau
keuntungan yang bisa diperoleh dari BIJB Kertajati. Jumlah penumpang yang akan
menggunakan bandara tersebut pasti sangatlah banyak. Betapa tidak, jumlah
penduduk jabar hampir 20 persen dari total penduduk nasional. Jadi, setiap
tahun minimal ada tiga sampai empat kelompok penumpang potensial. Jumlahnya
juga tidak sedikit.
Ada jamaah haji yang rutin
berangkat karema mayoritas penduduk Jabar adalah muslim. Ada pula yang tidak
kalah jumlahnya, yaitu jamaah umroh. Selain itu ada juga potensi dari pekerja
migran Indonesia asal Jabar. Bahkan, kalau semua sepakat dan memegang komitmen,
perjalanan dinas semua ASN, pejabat, dan pengusaha.
Bagaimana dengan Nusawiru?
Bandara perintis di Kabupaten Pangandaran tersebut juga menarik. Bandara
Nusawiru disetting untuk mengembangkan wilayah selatan bagian timur Jawa Barat.
Andai nasibnya akan di-kertajati-kan, apakah tidak mubazir pula anggaran dati
APBD Jabar yang digelontorkan untuk pengembangannya? Lalu, apakah semua
aset-aset Pemprov Jabar harus dihibahkan seutuhnya kepada Pemerintah Pusat?
Memang poin utamanya bukan pada
aset. Apakah setelah dikelola oleh Pusat, grand design pengembangan kedua
bandara itu akan terus dilanjutkan? Jabar semestinya mendapat komitmen
tersebut.
Bagaimana sesungguhnya kebijakan kebandarudaran
kita? Mari kita tunggu bersama perkembangannya.