JAKARTA,
Faktabandungraya.com,--- Industri
komputasi awan atau yang lebih dikenal dengan istilah cloud computing
perlahan namun pasti mulai tumbuh dan berkembang di Indonesia. Meski, kesiapan
masyarakat domestik terhadap perkembangan industri ini dianggap masih belum
terlalu bagus.Eddy Manindo Harahap (Direktur Pengaturan Bang Umum OJK ( foto:istimewa).
Hal itu setidaknya terlihat dari
hasil studi yang dikembangkan oleh Asia Cloud Computing Association (ACCA), di
mana pada tahun 2020 lalu hanya menempatkan Indonesia di posisi 12 dari
keseluruhan 14 negara Asia Pasifik yang masuk dalam penelitiannya terkait
kesiapan pengembangan industri cloud computing di negaranya.
“ACCA punya indeks yang diberi nama Cloud
Readiness Index (CRI), dan Indonesia pada tahun 2020 masih diberikan skor
sebesar 55,0. Memang ada kenaikan dibanding skor pada tahun 2018 yang masih
47,0, namun yang perlu dicatat bahwa (skor) negara-negara lain juga berkembang,
bahkan lebih cepat dari kita,” ujar Direktur Pengaturan Bank Umum Otoritas Jasa
Keuangan (OJK), Eddy Manindo Harahap, dalam keynote speech yang
disampaikannya sebagai pembuka diskusi virtual Implementasi Cloud System Pada
Industri Perbankan di Indonesia, yang digelar, Kamis (27/5-2021).
Dalam diskusi yang digelar oleh
Warta Ekonomi Group tersebut, Eddy menjelaskan bahwa posisi pertama dalam
indeks CRI tersebut ditempati oleh Hong Kong dengan skor sebesar 81,9 lalu
diikuti Singapura di peringkat kedua dengan skor 81,5 dan Selandia Baru di
peringkat tiga dengan skor 77,1.
Sementara Indonesia berada di
peringkat 12, tertinggal dari negara-negara Asia Tenggara lain, seperti
Malaysia yang berada di peringkat delapan dengan skor 68,5, Thailand di
peringkat Sembilan dengan skor 60,2 dan Filipina yang tepat berada di atas
Indonesia dengan skor 55,3.
“Artinya meskipun ada peningkatan dari
tahun 2018, adalah tugas kita semua, mulai dari regulator, pelaku usaha,
(industry) industri pendukung, ekosistem cloud computing, semua pihak,
untuk dapat bersama-sama bekerjasama mengembangkan industri ini ke depan,”
tutur Eddy.
Ketertinggalan Indonesia dalam
industri cloud computing, menurut Eddy, setidaknya didapat dari dua poin
utama yang masih menjadi kelemahan Indonesia. Pertama, kecepatan broadband
di Indonesia yang masih berada di kisaran 16,7 mbps, sementara rata-rata
kecepatan broadband di 14 negara Asia Pasifik yang masuk dalam
penelitian ACCA mencapai 82,4 mbps. “Jadi memang secara kecepatan (broadband)
kita sudah mulai jauh tertinggal. Harus dikejar. Selain itu kelemahan kita
adalah dari segi regulasi yang dinilai oleh ACCA masih tidak mendukung karena
ada banyak kasus regulasi kita yang masih saling tumpang tindih,” ungkap Eddy.
Meski demikian, dengan segala
keterbatasan dan kelemahan yang ada, bukan berarti pasar Indonesia tidak
potensial bagi pengembangan industri cloud computing. Faktanya, dengan
sejumlah catatan negatif tadi, beberapa pemain internasional di industri cloud
computing justru tertarik masuk ke pasar Indonesia. “Ada Alibaba Cloud,
yang sudah masuk ke sini. Lalu ada Google Cloud juga. Ada Amazon dan juga
Microsoft Azure. Ini dapat dimaknai bahwa pasar kita sebenarnya sangat
potensial. Tinggal lalu bagaimana kita bisa memanfaatkan potensi itu, agar
tidak justru dimanfaatkan oleh pemain global yang datang ke sini,” tegas Eddy.
Selain dibuka oleh keynote speech
dari OJK, diskusi virtual ini juga menghadirkan sejumlah narasumber lain yang
berkompeten di bidang cloud computing. Turut serta memberikan
pandangannya dalam diskusi ini juga Direktur Business & Sales PT Telkom
Sigma, Tanto Suratno, Managing Director Digital, IT & Operation PT Bank
Rakyat Indonesia Tbk, Indra Utoyo dan Managing Director Datacomm Cloud
Business, Sutedjo Tjahjadi. Diskusi ini dimoderatori oleh Executive Chairman
Digital Banking Institute, Bari Arijono. Selain digelar melalui platform zoom,
diskusi ini juga disiarkan secara langsung melalui channel youtube Warta
Ekonomi Channel dan juga akun Instagram Warta Ekonomi. (*/red).