Notification

×

Iklan

Iklan

Tag Terpopuler

Relokasi Anggaran Buat Covid-19, Banyak Skala Prioritas Program OPD Terhambat

Selasa, 18 Mei 2021 | 00:27 WIB Last Updated 2021-05-24T17:49:05Z
Klik

M.Hasbullah Rahmat, S.Pd, M.Hum (anggota Komisi IV DPRD Jabar ), (foto: istimewa).
BANDUNG, Faktabandungraya.com,--- Sejak merebaknya pandemi Covid-19, pada Maret 2020 lalu, hingga kini belum juga hilang, Pemerintah Provinsi Jabar bersama DPRD Jabar telah melakukan beberapa kali relokasi anggaran. Hal ini terpaksa dilakukan demi penanganan pandemic Covid-19.

Anggota Komisi IV DPRD Jabar M. Hasbullah Rahmat, S.Pd,M.Hum, membenarkan bahwa sudah beberapa kali terjadi relokasi anggaran di seluruh Organiasi Perangkat Daerah (OPD). Baik pada APBD Tahun 2020 maupun 2021 sekarang ini.  

Dengan adanya relokasi anggaran di OPD tentunya, akan berdampak terhadap program prioritas yang terpaksa di hapus dikurangi anggarannya, bahkan ada juga yang dihapus/ dibatalkan.

Hasbullah mengatakan, relokasi anggaran dilakukan berdasarkan Surat Edaran (SE) secara eksplisit dari Kementerian Keuangan Nomor 2 Tahun 2020. Sehingga, anggaran yang bersumber dari Dana Anggaran Umum (DAU) harus diperuntukan 8 persen untuk penanggulangan Covid-19, terutama untuk vaksinasi.

Bahkan, dana desa sebanyak 30 persen juga harus dialokasikan untuk Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan 8 persen peruntukan untuk vaksinasi. Sedangkan, di Provinsi pihaknya belum mengetahui kebijakannya seperti apa, akan tetapi sepengetahuan dirinya, DAU lebih besar angkanya di Dinas Pendidikan (Disdik), kemudian sedikit di Dinas Kesehatan (Dinkes) Jabar.

“Saya kira SE itu baru terbit 8 februari 2020 lalu, ini kan mau tidak mau kalau di daerah yang ada DAU itu agak besar. Sedangkan beberapa dinas lain masih relatif sedikit. Paling besar itu Disdik,” kata Hasbullah kepada Faktabandungraya, saat ditemu di gedung DPRD Jabar, Selasa (18/5-2021).  

Selain itu, lanjut politisi PAN Jabar ini, Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) harus menyikapi dana Pemilihan Ekonomi Nasional (PEN) dari PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI). Menurutnya, PEN menjadi begitu seksi karena ketika pembahasan anggaran 2021 di september hingga november terdapat kesepakatan antara dewan dengan TAPD untuk tidak menggeser dana PEN.

“Otomatis kalau dibuat Perda dalam APBD dan Pergub, itu kan logikanya nggak boleh digeser-geser. Nah, cuman saya juga tahu belum nih, katanya ada beberapa hal yang kemungkinan dipending atau bagaimana karena berbagai faktor,” ujarnya.

Hasbullah menilai konsekuensi ketika utang telah ditandatangani dengan PT SMI dan akan menjadi bagian di dalam dokumen utang daerah Jabar. Sehingga, dana tersebut tidak bisa realokasi, terlebih sudah terdapat dalam nomenklatur utang.

“Kalau mau bangun alun-alun ya alun-alun, tidak bisa tiba-tiba untuk kursi sekolah mana, tidak bisa dan tidak boleh,” ujar HAsbullah yang juga Ketua Badan Kehormatan DPRD Jabar ini.

Ia menegaskan, jika sebuah pembangunan yang menggunakan dana pinjaman tidak bisa terealisasikan maka logikanya akan menjadi Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA). Kemudian, kerugiannya menjadi 2 kali, padahal dalam kontrak dengan PT SMI sudah jelas masuk ke kas daerah.

“Kalau dia jadi utang masuk ke kas daerah uangnya. Tapi konon katanya pembayaran masuk ke kas daerah berdasarkan progres. Jadi bukan sekarang Pak Gubernur tanda tangan utang uangnya masuk. Rp 1,8 triliun, okelah karena sudah lewat tapi yang Rp 2,2 triliun di APBD murni tahun 2021 ini apakah uangnya langsung masuk ke kas daerah?,” tegasnya.

Daddy menyebut jika dihitung berdasarkan pembayaran bisa jadi tidak senilai Rp 2,2 triliun, kalau terdapat pekerjaan yang ditahan atau ditunda. Jika sebuah pembangunan ditahan, otomatis Pemprov Jabar tidak bisa mengerjakan pembangunan dan tidak bisa mencairkan ke PT SMI.

“Nah ini yang saya kira telah berkali-kali mengingatkan dalam berbagai kesempatan dengan rekan-rekan. Saya bilang, khusus soal PEN ayo kita lihat karena ini utang daerah. Ini ditandatangani sebagai pinjaman daerah, angka Rp 2,2 triliun itu apakah di lapangan terealisasi betul semua yang nomenklaturnya tertera dalam APBD terealisasi seperti itu?,” lanjutnya.

“Konsekuensinya bukan apa-apa, pada kewajiban kita membayar setiap termin APBD murni maupun perubahan. Kurang lebih Rp 660 miliar per tahun.  Hal ini perlu kita cermati bersama,” tandasnya, (Adikaraya/husein).

×
Berita Terbaru Update