BANDUNG,Faktabandungraya.com,--- Pakar
Ilmu Kesehatan Masyarakat Unpad Dr.Irvan Afriandi mengatakan, mencermati
tingkat keterisian tempat tidur (Bed Occupancy Rate/BOR) rumah sakit di Kota
Bandung yang mendekati angka 80 persen, masyarakat dihimbau tidak perlu panik.Pakar Ilmu Kesehatan Masyarakat Unpad Dr.Irvan
Afriandi (foto;istimewa)
Dr.Irvan mengungkapkan, per Rabu
9 Juni 2021, keterisian tempat tidur rumah sakit di Kota Bandung untuk seluruh
kategori kasus Covid-19 telah mencapai 78 persen. Sedangkan keterisian tempat
tidur untuk kasus Covid-19 di ruang ICU bertekanan negatif yang dilengkapi
dengan ventilator telah mencapai 81 persen.
Namun menurutnya, hal yang perlu
dicermati sesungguhnya yaitu rasio ketersediaan tempat tidur untuk seluruh
kategori kasus Covid-19 di Kota Bandung adalah 1 per 1.626 penduduk dan rasio
ketersediaan tempat tidur di ruang ICU bertekanan negatif dengan ventilator
adalah 1 per 31.773 orang.
Ketersediaan tersebut jauh lebih
baik dibanding kesiapan aglomerasi Bandung Raya. Untuk seluruh kategori kasus
Covid-19, rasio ketersediaannya adalah 1 tempat tidur bagi 1.958 penduduk.
Sedangkan untuk tempat tidur pada
ruang ICU bertekanan negatif dengan ventilator, rasionya adalah 1 : 78.882
penduduk wilayah aglomerasi.
Bahkan, ada suatu daerah yang
rasio ketersedian tempat tidur seluruh kategori kasusnya hanya 1 untuk 14.412.
Sedangkan rasio ketersediaan tempat tidur ruang ICU bertenanan negatif dengan
ventilatornya hanya 1 : 273.679.
"Oleh karenanya, wajar
ketika banyak kasus yang memerlukan perawatan rumah sakit dari wilayah di luar
Kota Bandung akhirnya dirujuk ke berbagai rumah sakit di Kota Bandung,"
jelas Irvan saat ditemui di Gedung RSP Unpad, Jalan Prof Eyckman, Rabu, (9/6-2021).
Menurut Irvan, hal tersebut
menunjukkan bahwa Kota Bandung berperanan penting menyangga perawatan
kasus-kasus Covid-19 di wilayah aglomerasi Bandung Raya.
Dari situasi tersebut, seyogyanya
Kota Bandung mendapat insentif atau dukungan dalam penanganan perawatan
kasus-kasus di rumah sakit.
Selain itu, Irvan menyatakan
bahwa transmisi atau penularan Covid-19 terjadi akibat interaksi antar manusia
dalam jarak dekat yang tidak dilindungi oleh perilaku penggunaan masker dan
mencuci tangan secara efektif.
"Proses transmisi Covid-19
tidak mengenal batas administrasi kewilayahan atau pun kependudukan seseorang.
Warga suatu kota ataupun kabupaten dapat tertular dan atau menularkan penduduk
kota ataupun kabupaten lainnya, sepanjang terjadi interaksi antar penduduk yang
tidak mematuhi protokol pencegahan penularan Covid-19," jelasnya.
"Demikian pula saat
seseorang memerlukan perawatan, bisa jadi fasilitas perawatan yang tersedia dan
siap melayani adalah fasilitas kesehatan yang berada di wilayah di luar
domisilinya," imbuh Irvan.
Irvan mengatakan, ada beberapa
kemungkinan mengapa hal tersebut terjadi. Di antaranya adalah karena kedekatan
geografis. Misalnya bagi penduduk yang berada di daerah perbatasan.
Kemungkinan lainnya adalah karena
keterisian tempat peratawatan pada fasilitas kesehatan yang berada di wilayah
domisilinya telah mencapai batas maksimum kapasitasnya.
Untuk situasi di rumah sakit Kota
Bandung mendekati angka keterisian 80 persen, hal tersebut bisa jadi merupakan
akibat dari telah penuhnya keterisian tempat tidur perawatan pasien Covid-19 di
sejumlah rumah sakit di kabupaten dan kota di sekitarnya.
"Sebagai ibu
kota Jawa Barat dengan aktivitas ekonomi dan sosial dan jumlah penduduk yang
relatif lebih besar, maka wajar jika jumlah rumah sakit dan juga jumlah tempat
tidur perawatan di Kota Bandung lebih besar dibanding wilayah lainnya."
“Justru kita patut bersyukur,
Kota Bandung bisa mengampu pasien dari daerah lain, tapi kemudian jangan jadi
disinsentif untuk Kota Bandung, ” ucap Irvan
Pakar Ilmu Kesehatan Masyarakat Unpad Dr.Irvan Afriandi ( foto:istimewa) |
Oleh karenanya, Irvan mengatakan,
Kota Bandung tak bisa dinilai gagal mengendalikan penularan sehingga banyak
yang dirawat di rumah sakit. Perlu dikaji terlebih dahulu, dari wilayah mana
pasien-pasien yang dirawat di Kota Bandung. Jika yang sakit tertangani di rumah
sakit, masyarakat kan aman,
“Jika kemudian secara keseluruhan
BOR tempat perawatan di wilayan aglomerasi Bandung Raya terus meningkat, maka
perlu diantisipasi dengan koordinasi antar wilayah aglomerasi," tuturnya.
Irvan menuturkan, satu tahun lebih
masa pandemi Covid-19 ini memberikan banyak pelajaran bagi penanganan kasus dan
pencegahan penularannya. Pola dan kualitas penanggulangan dan pengendaliannya
mengalami kecenderungan perbaikan.
Dalam hal penyediaan tempat
perawatan di rumah sakit misalnya, saat ini fleksibilitas untuk penambahannya
telah bisa terantisipasi sehingga dapat meningkat hingga 20 persen dari
kapasitas yang ada saat ini.
Hal itu sesuai dengan anjuran WHO
bahwa otoritas kesehatan suatu wilayah harus mampu mengantisipasi sekiranya
terjadi lonjakan kebutuhan tempat perawatan di rumah sakit hingga 20 persen
lebih tinggi.
Strategi yang dilakukan adalah
dengan mengubah peruntukan tempat perawatan pada suatu rumah sakit, dari yang
sebelumnya diperuntukkan untuk pasien noncovid-19 menjadi digunakan untuk
penderita Covid-19.
Strategi lainnya adalah dengan
menambah fasilitas perawatan khusus bagi penderita Covid-19 yang termasuk kasus
ringan dan sedang pada fasilitas-fasilitas yang sebelumnya tidak merawat pasien
Covid-19.
Pengalaman Kota Bandung dan
wilayah Bandung Raya lainnya dalam mengatasi peningkatan kasus-kasus yang perlu
dirawat di periode puncak di bulan Desember 2020 hingga Februari 2021
memberikan keyakinan bahwa sistem kesehatan di wilayah aglomerasi Bandung Raya
dapat mengakomodasi kebutuhan perawatan dengan baik.
“Kekhawatiran yang terjadi saat
itu lebih dipicu ketidakyakinan akan kapasitas dan kemampuan sistem pelayanan
kesehatan kita dalam memenuhi implikasi dari lonjakan kasus-kasus yang
dirawat."
"Sesungguhnya, dengan adanya
sebagian masyarakat yang telah memperoleh vaksinasi, maka tingkat keparahan
dari kasus-kasus yang terinfeksi cenderung lebih rendah sehingga kebutuhan
perawatan di rumah sakit pun bisa jadi lebih rendah”, ungkap Lektor pada
Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Unpad ini.
Meski begitu, Irvan menyatakan,
agar hal ini tidak membuat semua pihak terlena. Baik itu masyarakat ataupun
pemerintah harus sama-sama menjaga tetap waspada dan melakukan sejumlah langkah
penanganan, sebagaimana dianjurkan, yang terdiri atas 3T, 3M dan vaksinasi.
Bagi pemerintah, sambung Irvan,
utamanya sejumlah pemerintah daerah yang sistem kesehatan dan sistem
surveilansnya turut tertopang oleh Kota Bandung tetap harus memastikan
kesiap-siagaannya.
Begitu pun bagi pemerintahan yang
lebih tinggi, baik provinsi atupun di tingkat pemerintah pusat diharapkan mampu
mengkoordinasikan dan mengakselerasi peningkatan kinerja pelayanan kesehatan
dan surveilans agar lebih merata.
“Sebab kapasitas Kota Bandung
untuk mengakomodasi perawatan kasus-kasus yang berasal dari luar wilayah tentu
ada batasnya. Namun jika kabupaten dan kota yang berdekatan juga memelihara
semangat dan langkah kesiap-siagaannya secara terkoordinasi, maka masyarakat di
wilayah aglomerasi Bandung Raya pun akan terlindungi secara optimal."
"Dalam hal ini, kepemimpinan
yang guyub dan melayani memegang peranan penting karena pandemi tidak mengenal
batas wilayah,” paparnya.
Lebih lanjut Irvan menerangkan
pendekatan penanganan dan penanggulangan Covid-19 ini terdiri atas 3 hal.
Pertama, pemeriksaan, penanganan dan pelacakan (testing, treatment, tracing)
yang porsi terbesarnya dilakukan oleh pemerintah.
Kedua, perilaku protektif berupa
penggunaan masker secara benar, mencuci tangan yang efektif, menjaga jarak,
menghindari kerumunan dan membatasi mobilitas dan interaksi (5M), yang
seyogyanya merupakan gerakan aktif partisipatif dari masyarakat.
Ketiga, vaksinasi dan peningkatan
imunitas masyarakat. Kesemuanya bertujuan agar terjadi perlambatan laju
transmisi/penularan dan menurunkan angka kesakitan serta kematian akibat
Covid-19.
Selain itu, Irvan mengimbau
masyarakat untuk mulai mengubah sudut pandangnya terhadap pandemi Covid-19
dengan menguatkan pandangan bahwa untuk saat ini keberadaan Covid-19 merupakan
suatu keniscayaan yang membawa masyarakat dan pemerintah beradaptasi.
Sehingga suatu saat Covid-19
tidak lagi menjadi momok pandemi, namun lebih bersifat endemi.
Untuk itu diperlukan perubahan
paradigma penanganan Covid-19 dari yang semula lebih cenderung reaktif, menjadi
antisipatif.
Dari yang sebelumnya stigmatis
menjadi suportif. Dari yang tadinya terfragmentasi menjadi komprehensif. Dari
yang sebelumnya sektoral menjadi multisektoral.
Dari segi pemantauannya, lanjut
Irvan, perlu pula terjadi pergesaran dari yang tadinya berfokus pada jumlah
kasus dan kematian menjadi lebih berfokus pada pemantauan kinerja (proses dan
input) dari sistem pelayanan kesehatan dan sistem surveilans Covid-19 dan
penyakit-penyakit yang berpotensi mewabah.
Dalam kaitan tersebut, penggunaan
indikator-indikator strategis berupa kinerja pemeriksaan, pelacakan dan
penanganan kasus mendesak untuk diimplementasikan secara akuntabel.
"Hal tersebut diperlukan
agar pada gilirannya kepanikan dan keyakinan masyarakat dapat terkelola dengan
baik sehingga masyarakat dapat menjalankan aktivitas ekonomi, sosial dan
budayanya secara aman dan produktif," ucapnya. (asp/sein).