BANDUNG, Pakar Ilmu Kesehatan
Masyarakat Universitas Padjadjaran (IKM Unpad) Bandung, Irvan Afriandi menyatakaN terdapat
tiga kategori status terkait Covid-19 yang apabila meninggal dunia harus
dilakukan pemulasaraan jenazah sesuai dengan pedoman dari Kementerian
Kesehatan.Pakar IKM Unpad Irvan Afriandi (foto:istimewa)
Prosedur terkait kasus Covid-19
ini guna melindungi dan mencegah penularan baru kepada keluarga dan masyarakat
yang bersumber dari kegiatan pemulasaraan
Irvan menyatakan, ketiga kategori
ini perlu dipahami oleh semua pihak, tidak hanya para tenaga kesehatan ataupun
petugas pemulasara di lapangan. Namun juga seluruh lapisan masyarakat. Sehingga
proses tata laksana pemulasaraan jenazah bisa berjalan dengan aman.
“Sesuai pedoman dari Kemkes,
terdapat 3 kategori kasus yang diterapkan prosedur pemulasaraan Covid-19. Pertama,
orang yang meninggal terkonfirmasi di rumah sakit. Kedua, orang yang
meninggal dengan kategori probable di rumah sakit, dan "Ketiga,
adalah kontak erat yang ketika datang ke IGD ternyata sudah meninggal,”
imbuhnya.
Irvan memaparkan, untuk terkait
kasus konfirmasi sudah sangat jelas bahwa ketika meninggal dunia maka
pemulasaraan jenazahnya wajib dengan tatalaksana prosedur penanganan Covid-19.
Baik itu terkonfirmasi tanpa gejala, dan terlebih ketika sebelum meninggal
terdeteksi memiliki gejala.
Untuk kategori probable, Irvan
menjelaskan, kasus ini terjadi kepada pasien yang secara klinis menunjukan
gejala sehingga diduga terpapar Covid-19. Hanya saja, kondisinya tidak
memungkinkan untuk dilakukan pengambilan sampel dalam waktu cepat mengingat
kondisi gejalanya yang sangat berat.
“Tapi dari tanda klinis kuat
diduga mengarah covid, tapi tidak sempat atau tidak bisa dilakukan pemeriksaan
laboratorium. Gambaran klinisnya sangat mirip dengan Covid-19. Kemudian setelah
dirontgen sangat mirip,” jelas Lektor Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas
Kedokteran Unpad ini.
Kondisi kasus probable inilah
yang dinilai Irvan menjadi celah terjadinya kesalahpahaman mengenai penanganan
pasien yang meninggal sebelum keluar hasil pemeriksaan PCR di laboratorium.
Sebab, pasien sudah lebih dulu menunjukan gejala klinis cukup berat yang
mengarah pada dugaan terpapar Covid-19.
Sehingga, sambung Irvan, tenaga
kesehatan tidak bisa mengambil resiko bahwa jenazah tersebut diabaikan dari
dugaan paparan.
Maka untuk pemulasaraan
jenazahnya pun harus dalam waktu terbatas dan menggunakan tata laksana sesuai
prosedur Covid-19, sekalipun hasil pemeriksaan baru keluar beberapa hari
setelah dinyatakan meninggal dunia.
“Karena banyak gejala yang mirip,
orang pneumonia berat, sesak karena payah jantung bisa juga, apalagi kita tahu
orang dengan komorbid dengan penyakit jantung, asma atau gejala lain mirip
Covid-19," jelasnya.
"Jadi faktor resiko sesorang
terkena covid itu berat, makanya dokter tidak ambil risiko dengan sangat
hati-hati. Itu sebenarnya baik buat dokter, baik buat pasien dan keluarganya,”
bebernya.
Irvan mengungkapkan, setiap kasus
yang terjadi tidak bisa disamaratakan, karena setiap pasien harus ditelisik
lebih jauh mengenai riwayatnnya. Terlebih, ketika awal-awal pandemi Covid-19
terjadi sarana pemeriksaaan laboratorium masih belum memadai, sehingga dokter
tidak ingin gegabah menyatakan status Covid-19.
“Dasar pemeriksaan itu secara
klinis dan laboratorium. Klinis saja hanya bisa menyatakan suspek atau
probable. Baru kita yakin definitif seseorang Covid-19 kalau terkonfirmasi
kategorinya hasil pemeriksaan PCR,” ujarnya.
“Dalam praktek kedokteran,
pemeriksaan laboratorium bertujuan untuk menegakkan diagnosis ataupun untuk
menyingkirkan diagnosis atau ‘differential diagnosis’. Pada situasi di mana
hasil PCR negatif yang diketahui setelah pasien meninggal. Hal tersebut
berpotensi terjadinya kesalahpahaman keluarga dan masyarakat terhadap prosedur
pelayanan yang dilakukan oleh dokter dan rumah sakit,” Irvan menambahkan.
Irvan melanjutkan, untuk kategori
kontak erat yakni terjadi pada orang yang berinteraksi bersama orang yang
terkonfirmasi dengan jarak sangat dekat dan sekurang-kurangnya terjadi dalam
kurun waktu 15 menit. Kemudian, alat perlindungan diri seperti masker tidak
digunakan secara benar atau dari bahan yang kurang mumpuni maka memiliki risiko
terpapar.
“Ada orang yang dibawa ke rumah
sakit saat datang ke IGD ternyata sudah dalam kondisi ‘death on arrival’ atau
meninggal saat dirujuk atau evakuasi ke RS, bisa jadi di jalan atau di
rumah," katanya.
"Kalau ternyata orang ini
terkategori sebagai kontak erat, maka rumah sakit menerapkan protokol
pemulasaraan COVID-19 untuk memitigasi potensi penularan kepada keluarga dan
masyarakat,” dia menjelaskan.
Oleh karenanya, sambung Irvan,
dapat terjadi situasi yang mana di satu sisi keluarga mengetahui bahwa jenazah
tidak dinyatakan sebagai penderita Covid-19 karena memang belum diperiksa PCR.
Namun di sisi yang lain, pihak rumah sakit memperlakukan prosedur pemulasaraan
Covid-19 yang ketat.
“Kalau yakin dia meninggal
negatif itu tidak perlu menggunakan tatalaksana pemulasaraan Covid-19. Cuma itu
negatifnya kapan, karena ada orang sakit berat ketika pemeriksaan pertama
negatif tapi kalau ternyata kontak erat itu harus dipulasara sesuai tatalaksana
medis,” imbuhnya.
Untuk itu, Irvan mengimbau,
apabila terjadi keragu-raguan maka sebaiknya masyarakat memercayakan kepada
ahlinya. Yakni dalam hal ini adalah para tenaga kesehatan yang bekerja di bawah
sumpah dan dituntut melakukan pekerjaannya sesuai dengan prosedur.
Irvan menegaskan, para tenaga
kesehatan akan selalu bekerja secara profesional. Sehingga, setiap keputusan
yang diambil sangat mempertimbangkan masalah keselamatan dan kesehatan
masyarakat yang masih hidup agar tidak terpapar.
“Masyarakat perlu ditingkatkan
kesadarannya tentang mitigasi risiko penularan akibat adanya kematian,
dibandingkan kita menganggap enteng atau mengabaikan kemungkinan risiko. Maka
jika ada pemulasaraan dengan prosedur Covid-19, masyarakat percaya kepada
tenaga kesehatan karena itu toh mencegah untuk masyarakat tertular,” katanya.
“Saat ini langkah penanganan dari
masyarakat itu sebaiknya berkonsentrasi pada perilaku pencegahan 5M dan
mendukung pemerintah melaksanakan testing, tracing, dan treatment,” tambahnya.(***).