Fanky Christian (Sekretaris Jenderal ACCCI ( foto:ist) |
CEO dan Chief Editor
Wartaekonomi.co.id Muhamad Ihsan menuturkan, perkembangan teknologi digital
inilah yang mmbuat kita optimis bahwa di tengah pandemi prospek ekonomi dan
digital semakin baik. Dari beberapa penelitian, sebutnya, ada opportunity yang
besar sekali di pasar cloud computing karena memang ekonomi terus menuju ke
arah digital.
"Apalagi berbagai penelitian
juga mnyebutkan gaya hidup digital tidak hanya terjadi karena Covid-19, setelah
Covid-19 sebagian dari kita mungkin akan tetap melakukan gaya hidup
digital," ujarnya saat menghadiri webinar bertajuk Cloud System pada
Industri Keuangan Nonbank Sebagai Upaya Digitalisasi dalam Rangka Pemulihan
Ekonomi Nasional yang digelar Warta Ekonomi di Jakarta, Rabu (28/7/2021).
Senada dengan Ihsan, Direktur
Utama PT Taspen (persero) A.N.S. Kosasih mengatakan, Covid-19 telah memaksa
orang bahkan generasi kolonial alias para orang tua dipaksa untuk melek
digital. Menurutnya, waktu PT Taspen melakukan investasi teknologi diprotes
banyak pihak karena konsumen PT Taspen kan mayoritas orang tua atau lanjut usia
yang gagap teknologi (gaptek).
"Tapi memang perubahan ini
bukan karena CEO-nya hebat tapi karena Covid-19. Covid-19 membuat kita harus
berubah dan mempermudah mengalihkannya ke teknologi digital. Tadi ada begitu
banyak keberatan dari para pensiunan dari peserta kita, sekarang mereka minta
kalau bisa digital saja daripada kontak fisik meski mnyenangkan tapi akibatnya
fatal," jelas Kosasih.
Oleh sebab itu, pihaknya mengubah
cara berbisnis dan proses klaim PT Taspen dengan teknologi untuk para
konsumennya seperti aplikasi mobile PT Taspen.
"Kalau kita buka Taspen
Mobile kita bikin autentifikasinya itu facial dan voice recognition. jadi biar
enggak salah terima, tidak terjadi penipuan, dan disalahgunakan kita pakai itu
facial recognition. Dan ini tidak bisa ditipu karena facial recognition
bentuknya bukan video tapi live dan mereka diminta melakukan gerakan sesuai
instruksi dari aplikasi misalnya tersenyum, gerakkan mata. kalau salah uangnya
tidak terkirim," tukasnya.
"Jadi banyak pensiunan yang
tadinya gaptek sekarang banyak pensiunan mulai bisa lakukan transaksi berbasis
teknologi. Kalau dia tidak bisa mereka minta ke anak atau cucunya. apakah masih
ada yang tidak bisa teknologi? ada tapi jumlahnya kurang dari 2%," tambah
Kosasih.A.N.S Kosasih ( Direktur Utma PT. Taspen (foto:ist)
Dalam kesempatan yang sama,
Deputi Direktur IT PT Adira Dinamika Multi Finance Dodi Yuliarso mengungkapkan,
potensi pertumbuhan industri cloud computing memang sangatlah besar. Terbukti
perusahaan cloud computing global telah masuk dan memasarkan produknya di
Indonesia. Sebut saja Alibaba Cloud, Google Cloud, Amazon dan Microsoft Azure.
"Indonesia sebetulnya
potensi pertumbuhan cloud sangat tinggi, memang kita terbentur regulasi
sehingga adopsinya masih belum tumbuh signifikan tapi akan tumbuh cepat. cloud
companynya juga wktu itu belum banyak tapi sekarang sudah banyak, ini akan
menarik dua tahun ke depan," ucapnya.
Lebih lanjut, dia memberikan
sedikit tips memilih perusahaan cloud di masa pandemi saat ini. Pertama ialah
pilih perusahaan yang aspek securitynya sudah teruji dan mumpuni. Kemudian,
pilih perusahaan yang benar-benar memiliki jam terbang tinggi di industri cloud
computing.
"untuk memilih salah satu
perusahaan cloud adalah dari aspek security karena di masa pandemi ini cyber
crime semakin meningkat jadi kita harus sangat-sangat selektif memilih company
cloud tersebut. Plus juga company cloudnya harus benar-benar yang punya
pengalaman, expert dan teknologi yang mumpuni," sebutnya.
Untuk diketahui, industri
komputasi awan perlahan namun pasti mulai tumbuh dan berkembang di Indonesia
kendati sedikit tertinggal. Hal itu setidaknya terlihat dari hasil studi yang
dikembangkan oleh Asia Cloud Computing Association (ACCA), di mana pada tahun
2020 lalu hanya menempatkan Indonesia di posisi 12 dari keseluruhan 14 negara
Asia Pasifik yang masuk dalam penelitiannya terkait kesiapan pengembangan
industri cloud computing di negaranya.
“ACCA punya indeks yang diberi
nama Cloud Readiness Index (CRI), dan Indonesia pada tahun 2020 masih diberikan
skor sebesar 55,0. Memang ada kenaikan disbanding skor pada tahun 2018 yang
masih 47,0, namun yang perlu dicatat bahwa (skor) negara-negara lain juga
berkembang, bahkan lebih cepat dari kita,” kata Direktur Pengaturan Bank Umum
Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Eddy Manindo Harahap, belum lama ini.
Eddy menjelaskan bahwa posisi
pertama dalam indeks CRI tersebut ditempati oleh Hong Kong dengan skor sebesar
81,9 lalu diikuti Singapura di peringkat kedua dengan skor 81,5 dan Selandia
Baru di peringkat tiga dengan skor 77,1. Sementara Indonesia berada di
peringkat 12, tertinggal dari negara-negara Asia Tenggara lain, seperti
Malaysia yang berada di peringkat delapan dengan skor 68,5, Thailand di
peringkat Sembilan dengan skor 60,2 dan Filipina yang tepat berada di atas
Indonesia dengan skor 55,3.
“Artinya meskipun ada peningkatan
dari tahun 2018, adalah tugas kita semua, mulai dari regulator, pelaku usaha,
(industry) industri pendukung, ekosistem cloud computing, semua pihak, untuk
dapat bersama-sama bekerjasama mengembangkan industri ini ke depan,” tutur
Eddy.
Ketertinggalan Indonesia dalam
industri cloud computing setidaknya didapat dari dua poin utama yang masih
menjadi kelemahan Indonesia. Pertama, kecepatan broadband di Indonesia yang
masih berada di kisaran 16,7 mbps, sementara rata-rata kecepatan broadband di
14 negara Asia Pasifik yang masuk dalam penelitian ACCA mencapai 82,4 mbps. webinar bertajuk Cloud System pada Industri Keuangan Nonbank Sebagai Upaya Digitalisasi dalam
Rangka Pemulihan Ekonomi Nasional yang digelar Warta Ekonomi di Jakarta
“Selain itu kelemahan kita adalah
dari segi regulasi yang dinilai oleh ACCA masih tidak mendukung karena ada
banyak kasus regulasi kita yang masih saling tumpang tindih,” ungkap Eddy.
(rls/red).