oleh : DADDY ROHANADY (Anggota DPRD Provinsi Jabar).Drs.H.DADDY ROHANDY (Anggota DPRD Jabar) (foto:dok.daro)
Terkait penataan ruang, amanat
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja (UUCK) memang berbeda
dengan amanat UU 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang. Dengan diberlakukannya
UUCK beserta berbagai aturan turunannya, semua daerah provinsi/kabupaten/kota
pasti mendapat "pukulan keras". Betapa tidak, semua daerah harus
mengevaluasi perda-perda yang mereka miliki.
Hasilnya pun pasti sangat
mengejutkan. Banyak perda harus dicabut dan banyak pula perda baru yang harus
dibuat. Khusus terkait Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), secara
eksplisit perda tersebut harus digabungkan dengan Perda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir
Dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K).
Itu berarti perda RTRW nantinya
aka mengatur seluruh ruang darat dan laut. Penggabungan spasial seluruh ruang
darat dan laut 0-12 mil itu bukan hal mudah. Dibutuhkan koordinasi
intensif dengan beberapa kementerian di Jakarta, terutama Kementerian ATR/BPN.
Bagaimanapun peta rencana pola
ruang sudah pasti berubah, baik penyajian peta maupun basis datanya yang secara
de facto diatur secara utuh oleh kementerian tersebut. Perda tersebut akan
dibahas oleh panitia khusus (pansus). Jangan sampai nantinya Pansus harus
bolak-balik kembali demi menyelaraskan yang semestinya sudah dilakukan pada
tahap lebih awal.
Bagaimana dengan adanya penetapan
Zona Tunda (Holding Zone) sebagai salah satu solusi yang ditawarkan Kementerian
ATR/BPN, terutama pada kawasan-kawasan hutan di pesisir/pantai yang menyebabkan
terjadinya perubahan peta garis pantai dari BIG. Misalnya, untuk kawasan hutan
lindung dan hutan produksi di Muara Gembong Kabupaten Bekasi. Di sana sebagian
sudah menjadi perairan, dan eksistingnya berupa lahan tambak / permukiman.
Sudahkah koordinasi intensif
dilakukan dengan beberapa kementerian di Jakarta? Dibutuhkan pula koordinasi
dengan Direktorat Jenderal Toponimi Kementerian Dalam Negeri. Belum lagi
Kementerian Kelautan dan Perikanan yang membuat aturan persetujuan substansi
juga.
Bagaimana nasib substansi Raperda
tentang Revisi RTRW Provinsi Jabar versi Pansus DPRD Prov Jabar Tahun 2019?
Hasil kerja Pansus 2019 yang bekerja hampir setahun lamanya itu cukup banyak dan
sangat sigifikan.
Misalnya,
A. Bagaimana nasib Segitiga
Rebana yang sudah dijadikan PSN?
B. Bagaimana nasib BIJB
Kertajati, termasuk Kertajati Aerocity mengingat Pemerintah Pusat meneguhkan
kewenangannya tentang kebandarudaraan? Bagaimana nasib 1..040 hektare lahan
yang dibebaskan dengan biaya full APBD Provinsi Jabar?
Kalau toh BIJB Kertajati diambil
alih Pusat, mungkinkah 1.040 hektare itu dikonversi menjadi saham Pemprov Jabar
pada Pengelolaan Bandara yang dikerjasamakan dengan PT Angkasa Pura II? Mengapa
demikian? Pembangunan bandara baru di provinsi lain tidak satu pun pembebasan
lahannya menggunakan dana APBD.
Andai BIJB Kertajati akan secara
utuh diambil alih Pusat, Jabar berhak tahu time schedule perencanaan
pembangunan bandara di Kabupaten Majalengka itu. Semua tahu bahwa bandara
Kertajati diharapkan menjadi pintu keluar masuk langsung dari dan ke Jabar.
Dengan demikan, BIJB Kertajati diharapkan menjadi salah satu pengungkit roda
perekonomian Jawa Barat.
C. Bagaimana pula nasib Bandara
Nusawiru? Bandara itu satu-satunya bandara yang dibiayai full dari APBD
provinsi. Bagaimana korelasinya dalam Perda RTRW nanti, karena dalam UU 23/2014
hanya ada tanda hubung di sana? Apa yang akan dilakukan Jabar terkait hal itu?
D. Bagaimana nasib bandara baru
di Kabupaten Karawang dan Kabupaten Sukabumi?
E. Dengan ditetapkannya Patimban
sebagai PSN, kawasan tersebut pasti membutuhkan rencana pola ruang yang harus
disesuaikan dengan kebutuhan pengembangannya. Misalnya, dukungan tol Parabon
(Patimban-Indramayu-Cirebon) sepanjang pesisir utara.
Secara keseluruhan, pada intinya,
penggabungan perda RTRW lama (Perda 22 Tahun 2010) dengan RZWP3K itu bukan hal
yang mudah. Dinas BMPR sebagai OPD pengampu benar-benar harus bekerja ekstra
keras memenuhi semua aturan Pemerintah Pusat.
Harus dipikirkan juga bagaimana
nasib Pusat Kegiatan Wilayah (PKW) yang juga ditetapkan dalam RTRW
Nasional? Apakah lantas menggugurkan kewajiban Provinsi di sana karena hanya
Pusat Kegiatan Lokal (PKL) saja yang ditetapkan dalam RTRW provinsi?
Mengingat begitu banyaknya materi
yang harus disesuaikan dengan berbagai aturan, baik peraturan pemerintah (PP)
maupun pedoman yang ada, Raperda RTRW statusnya menjadi raperda baru. Apalagi
jika mengacu pada PP 21 Tahun 2021 dan Peraturan Mebteri ATR/BPN yang
menyebutkan bahwa hasil peninjauan kembali RTRW adalah Revisi, perlu
ditindaklanjuti dengan Pencabutan Perda. Artinya, Perda No 22 Tahun 2010
tentang RTRW Provinsi Jawa Barat Tahun 2009-2029 harus dicabut.
Bagaimana pula kaitannya dengan
implikasi pada penetapan tahun rencana RTRW Provinsi jabar menjadi tahun
2021-2041?
Semoga ini menjadi salah satu
ikhtiar untuk membentuk RTRW Jawa Barat yang lebih baik demi kemaslahatan
masyarakat. (daro).