Wakil Ketua Pansus VI DPRD Jabar saat mengunjungi kantor KCIC (foto:daro)
oleh : Daddy Rohanady (Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat)
Pada rencana awal yang
diluncurkan, ada empat transit oriented develompent (TOD). Dari keempatnya,
satu berada di DKI Jakarta, yakni Halim dan tiga di Provinsi Jawa Barat, yakni
di Karawang, Walini, dan Tegalluar.
Dalam perkembangannya, TOD Walini
ditunda lebih dahulu.
Kementerian Perhubungan
(Kemenhub) menilai Padalarang lebih pas daripada Walini. Hanya saja, salah satu
syaratnya untuk mengoptimalkan TOD Padalarang adalah harus ada feeder dari
Kebon Kawung serta melayani Bandung dan Cimahi.
Padahal, di kawasan Walini sudah
beredar banyak pihak yang berusaha membebaskan lahan. Hal itu bisa dipahami
mengingat rencana awal di TOD Walini pada awalnya akan dikembangkan menjadi
alternatif pengganti Ibu Kota Jawa Barat. Bahkan ada renana dibangun pula
kampus Institut Teknologi Bandung (ITB). Dengan demikian, dibutuhkan lahan
lebih dari seribu hektare.
Di sisi lain, dengan ditambahnya
TOD Padalarang, dibutuhkan pula kerja sama dengan manajemen Kota Baru
Parahyangan. Memang pasti dibutuhkan banyak penyesuaian. Meskipun demikian,
Padalarang dinilai lebih strategis. Padalarang dianggap lebih potensial menjadi
titik pertemuan dari banyak lokasi, sehingga lebih potensial pula untuk
menjaring penumpang.
Trase KCJB pada awalnya disetting
sejajar jalan tol. Namun, kalau itu yang dipilih, bisa berbahaya. Tikungan di
Karawang terlalu tajam. Dengan kecepatan bisa mencapai 350 km/jam, tikungan
bisa dipastikan akan membahayakan keselamatan penumpang KCJB.
Selain itu, pergeseran trase dan
TOD Karawang ke bagian selatan pasti memberi manfaat lain. Dengan pilihan itu,
perkemangan Karawang selatan juga lebih terakselerasi. Ini berarti TOD Karawang
diharapkan juga sekaligus sebagai pendorong percepatan pengembangan kawasan.Pimpinan dan anggota Pansus VI DPRD Jabar saat kunkerke kator KCIC (foto : daro)
TOD Halim merupakan satu-satunya
stasun elevated. Dengan luas sekitar 7,5 hektare, stasiun yang sangat menarik
karena berada di perbatasan Jakarta Timur dan Jakarta Pusat. Stasiun ini
diharapkan juga menjadi stasiun terpadu yang akan menjadi salah satu
"stasiun wisata".
KCJB diharapkan menjadi
kebanggaan masyarakat. Kontribusi KCJB juga tidak sedikit. Hingga akhir
Desember 2021 saja sudah Rp3 triliun lebih. Halim saja bisa Rp1,5 triliun untuk
pembebasan lahan.
KCJB dari DKI akan melintasi 8
kota/kabupaten di Jawa Barat. Konsekuensinya, pasti akan menggunakan lahan.
Namun, bangunan TOD akan sangat memperhatikan heritage di sekitarnya. Selain
itu, tentu sangat diharapkan agar pembangunan trase double track sepanjang
142,3 km itu tidak lantas mengorbankan Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan
(KP2B) Jabar.
KCJB dengan kecepatan 350 km/jam
hanya bisa melintas di jalur Karawang-padalarang. Sesungguhnya ada dua tipe
KCJB. Tipe pertama dari TOD Halim langsung ke TOD Padalarang. Waktu tempuhnya
36 menit. Sedangkan tipe kedua akan berhenti di TOD Karawang. Waktu tempuh KCJB
ini menjadi 45 menit.
Setiap hari KCJB beroperasi 68
perjalanan. Dengan kapasitas penumpang sekitar 600 orang, tarif satu trip per
penumpang diperkirakan pada kisaran Rp250.000-350.000.
Per tanggal 19 Januari 2021,
progres pembangunan sudah mencapai 79,9%. Semoga terget beroperasi pada Juni
2023 bisa terwujud. (daro).