Drs.H. Daddy Rohanady anggota DPRD Jabar dari Fraksi Gerindra (foto:ist). |
Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat/ Wakil Ketua Pansus RTRW Jabar 2022-2042
Keputusan
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia Nomor 1589/SK-HK.02.01/XII/2021 tentang Penetapan Peta
Lahan Sawah yang dilindungi pada Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Barat, Provinsi Banten, Provinsi Jawa Barat, Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Bali, dan Provinsi Nusa Tenggara Barat menetapkan dua hal yang cukup krusial.
Di semua provinsi tersebut total
Lahan Baku Sawah (LBS) adalah seluas 3.973.216,00 hektare dan Lahan Sawah yang
Dilindungi (LSD) adalah seluas 3.836.944,33 hektare.
Dari jumlah
total itu, Jawa Barat memiliki LBS seluas 1.028.210,60 ha dan LSD seluas
878.587,73 ha. Dari sana muncul angka Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
(LP2B) per 31 Desember 2021 seluas 718,406,47 ha. Setelah updating, angkanya
berubah menjadi 730.898,31 ha. Mampukah angka tersebut dipertahankan?
Pada
kenyataannya di lapangan sudah banyak lahan tergerus dan banyak pula Proyek
Strategis Nasional (PSN) masuk ke Jabar. Padahal, setiap pembangunan berskala
besar pasti membutuhkan lahan yang relatif besar pula. Bagaimana dengan alih
fungsi lahan?
Hingga
tulisan ini disusun, dari 27 kabupaten/kota se-Jabar, masih dua kepala daerah
yang belum menerbitkan surat keputusan penetapannya.
Keputusan
Menteri ATR/BPN tersebut pada butir keempat memutuskan bahwa Peta LSD digunakan
sebagai bahan bagi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, sesuai dengan kewenangannya,
dalam penetapan lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B) pada Rencana Tata
Ruang Wilayah (RTRW) dan Rencana Rinci Tata Ruang (RRTR/RDTR).
Sedangkan
pada butir keenam disebutkan bahwa izin atau Hak Atas Tanah nonpertanian yang
masuk dalam Peta Lahan Sawah yang Dilindungi, tetapi penerbitannya sebelum
penetapan peta dimaksud, dapat dikeluarkan dari Peta LSD.
Butir
kedelapan menyatakan bahwa dalam hal terdapat kebijakan nasional yang bersifat
strategis, Peta LSD dapat ditinjau kembali. Ini merupakan pasal untuk
mengantisipasi jika ada hal-hal dianggap yang sangat strategis tetapi juga
mendesak.
Dinyatakan
pula bahwa lahan sawah yang masuk dalam Peta LSD dapat dikeluarkan apabila
secara fungsional tidak dapat lagi dipertahankan sebagai LSD setelah mendapat
kajian dari tim yang terdiri dari unsur pemerintah, akademisi, dan organisasi.
Teradap
lahan sawah yang masuk dalam Peta LSD namun belum ditetapkan sebagai bagian
dari penetapan LP2B dalam RTRW, tidak dapat dialihfungsikan sebelum mendapat
rekomendasi perubahan penggunaan tanah dari Menteri Agraria dan Tata
Ruang/Kepala BPN.
Hingga kini
pembahasan Perda RTRW Jabar masih berjalan alot. Ini dikarenakan, antara lain,
begitu kompleksnya masalah dalam Perda RTRW tersebut. Banyak masalah timbul
karena Perda RTRW yang sedang disusun itu merupakan perda baru. Penyusunannya
dilakukan sesuai amanat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Pengaturan teknisnya memang didasarkan pada PP Nomor 21 Tahun 2021 Tentang
Penyelenggaraan Penataan Ruang.
UU yang
lebih dikenal dengan sebutan UU Ciptaker atau Omnibus Law itu mengamanatkan penggabungan
Perda RTRW dan Perda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K).
Ini berarti,
di dalam perda baru tersebut, selain mengatur sisi ruang darat, diatur pula
sisi ruang laut 0--12 mil yang kini menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi.
Dengan demikian, tampaknya, pengaturan ruang dalam perda baru itu akan menjadi
lebih komprehensif.
Perda RTRW
Jabar sendiri sebenarnya masih merujuk pada Perda Nommor 22 Tahun 2010.
Sebenarnya perubahan perda tersebut pernah dibahas oleh Pansus VII pada tahun
2019. Sayangnya, persetujuan perubahan tersebut tidak kunjung turun hingga DPRD
Provinsi Jabar periode 2014-2019 selesai masa baktinya.
Jangkauan
Perda RTRW yang sedang dibahas adalah dua puluh tahun, yakni 2022--2042. Dengan
demikian, perda ini harus pula membuat perkiraan dalam banyak hal di Jabar dua
puluh tahun ke depan. Misalnya, jumlah penduduk Jabar yang diperkirakan pada
tahun 2042 menjadi sekitar 63 juta jiwa. Data ini memiliki banyak konsekuensi.
KP2B (Kawasan
Pertanian Pangan Berkelanjutan) , misalnya, dibutuhkan untuk pemenuhan
kebutuhan pangan. Dengan demikian, Perda RTRW yang baru harus memproyeksikan
berapa kebutuhan KP2B untuk merealisasikan kebutuhan pangan Jabar pada 2042.
Tentu saja nantinya semua itu akan berkaitan dengan arahan zonasi dan indikasi
program yang akan dituangkan.
Di satu
sisi, Jabar membutuhkan KP2B untuk memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya. Di sisi
lain, alih fungsi lahan terus terjadi seiring "pesatnya" pembangunan
negeri ini. Semoga saja, Perda RTRW yang baru nantinya dapat menjawab
tantangan pembangunan Jabar hingga 2042.