Kepala Dinas P3A Kota Bandung dr. Rita Verita Sri Hasniarty (foto:humas). |
BANDUNG, Faktabandungraya.com,-- Kekerasan kerap identik dengan penyerangan fisik. Namun, ternyata kekerasan pun bisa muncul dari verbal. Bahkan, kekerasan verbal yang masuk pada ranah kekerasan psikis, menjadi kategori tertinggi dalam kasus kekerasan anak di sekolah.
Hal ini disampaikan Kepala Dinas
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A), dr. Rita Verita Sri
Hasniarty kepada Humas Kota Bandung pada Kamis, 16 Juni 2022.
"Dari tahun 2019-2021, terdata
40 klien kekerasan anak di sekolah yang sudah kita tangani. Namun, pasti ada
kasus yang tidak terlaporkan ke kita," ujar Rita.
Untuk menekan angka kasus kekerasan
anak di sekolah, DP3A bersama 75 sekolah jenjang SMP di Kota Bandung melakukan
simulasi bedah kasus.
Sebab, aku Rita, masih banyak orang
yang menganggap biasa kasus kekerasan anak berupa verbal. Sehingga, tindakan
tersebut tak segera dilaporkan, bahkan tak ditangani. Bahkan, kategori kasus
tertinggi kekerasan anak di sekolah adalah kekerasan psikis.
"Bisa jadi ternyata selama ini
dianggap biasa, tapi sebenarnya masuk dalam kekerasan anak. Anak ini kan secara
spontan mengeluarkan perkataan yang dapat menyebabkan sakit hati, ini termasuk
bullying," katanya
"Sehingga temannya sakit hati
dan akhirnya tidak mau ke sekolah, takut ketemu temannya itu," paparnya.
Maka dari itu, DP3A bersama 75
sekolah ini berkomitmen untuk melawan kasus kekerasan anak di sekolah.
Rita menekankan, para guru bimbingan
konseling (BK) dan kepala sekolah terus waspada serta cermat mengamati
pergaulan anak-anak.
"Bila terjadi seperti ini
harusnya segera melaporkan kepada yang bisa dipercaya untuk menyelesaikan
kasus, contohnya ke guru BK agar bisa ditindaklanjuti. Kalau tak bisa
diselesaikan, maka dirujuk ke UPTD PPA (Perlindungan Perempuan dan Anak) untuk
ditindaklanjuti," imbaunya.
Selain itu, Rita menyebutkan, kasus
kekerasan anak secara keseluruhan di Kota Bandung didominasi oleh kekerasan
seksual. Lalu, kekerasan psikis, dan ketiga, kekerasan fisik.
Dari data DP3A Kota Bandung, jumlah
kasus kekerasan anak tahun 2019 terdata 192 klien. Lalu, tahun 2020 terdata 138
klien. Kemudian, pada 2021 terdata 157 klien.
"Sepanjang Januari-Mei 2022 ada
88 klien. Semasa pandemi itu memang melonjak karena ada tekanan ekonomi juga.
Banyak yang di-PHK, merasa kecewa, akhirnya melampiaskan amarah ke anak,"
ungkap Rita di sela-sela pembicaraan.
Meski berat mengantisipasi agar
kasus serupa tak terjadi lagi, Rita menuturkan, perlu adanya partisipasi dari
semua pihak. Sebab, jika hanya DP3A yang menjalankan tugas mengawasi sampai
mendampingi, kasus kekerasan pada anak tak akan bisa selesai begitu saja.
"Semua harus berperan. Tidak
hanya dibebankan pada DP3A saja. Harus ada keterlibatan dari sekolah, orang
tua, Dinas Pendidikan, dan lembaga terkait lainnya. Harus sama-sama berperan
agar tidak meningkat lagi kasus kekerasan pada anak," harapnya.
Beberapa langkah yang telah DP3A
lakukan untuk menekan angka kekerasan anak, berupa sosialisasi, bedah kasus,
pendampingan, dan mediasi. (din/red).