![]() |
Drs. H. Daddy Rohanady (foto:ist). |
(Anggota DPRD Provinsi
Jawa Barat)
Ada dampak yang sangat signifikan dengan terbitnya surat Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Tjahjo Kumolo bernomor B/185/M.SM.02.03/2022. Surat yang diundangkan pada 31 Mei 2022 itu akan berdampak sangat besar pada struktur APBD seluruh provinsi dan kabuaten/kota. Tinggal menunggu kapan hal itu akan secara serius dieksekusi seratus persen.
Sesungguhnya, pergerakan besar pernah dilakukan ketika ada pengalihan status guru SMA/SMA ke provinsi. Bedanya, pengalihan status guru SMA/SMA ke provinsi lebih menambah beban APBD provinsi.
Di sisi lain, kebijakan tersebut justru lebih mengurangi beban
kabupaten/kota. Memang, di sana-sini masih terdapat pro-kontra. Namun,
kebijakan nasional, apalagi sudah dijadikan Undang-Undang, tampaknya relatif
sulit "ditolak" oleh semua semua pemerintah daerah.
Surat tersebut secara eksplisit
terkait Status Kepegawaian di Lingkungan Instansi Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah. Surat ditujukan kepada seluruh Pejabat Pembina Kepegawaian
(PPK) di lingkungan Kementerian/Lembaga instansi Pusat dan Daerah.
Sejatinya, surat tersebut untuk
menunjukkan komitmen pemerintah dalam menyelesaikan penanganan tenaga honorer
yang telah bekerja di lingkungan instansi pemerintah. Namun, Surat Menteri
PANRB Nomor B/185/M.SM.02.03/2022 tampaknya secara nyata akan membebani APBD
provinsi maupun kabupaten/kota secara nyata. Mengapa demikian?
Betapa tidak, andai benar kebijakan
tersebut akan diimplementasikan 100% di semua wilayah, bisa dibayangkan, berapa
banyak penawai honorer yang harus direkrut menjadi tenaga Pengawai Pemerintah
dengan Perjanjian Kerja (PPPK)? Jumlahnya pasti berbeda-beda di masing-masing
provinsi/kabupaten/kota. Namun, satu hal yang pasti adalah bahwa perekrutan
tersebut pasti akan menambah jumlah pos "Belanja Pegawai"
provinsi/kabupaten/kota.
Sebagai contoh kasus saja, misalnya
Kabupaten Bandung Barat. Sebagai salah satu kabupaten yang relatif masih muda
di Provinsi Jawa Barat, tenaga kesehatan yang statusnya honorer jumlahnya
sekitar 800 orang. Padahal, kemampuan mereka mengangkat PPPK hanya sekitar 150
orang. Bagaimana nasib 650 pegawai honorer lainnya? Itu baru satu organisasi
perangkat daerah (OPD). Secara keseluruhan, jumlah tenaga honorer di kabupaten
tersebut bisa mencapai 10 kelipatannya.
Ada pula kabupaten yang honorer
tenaga kesehatan di satu rumah sakitnya saja hampir mencapai 1.300 orang. Jika
kondisi ini lantas mengharuskan daerah tersebut secara serta-merta mengangkat
mereka menjadi ASN-PPPK, bisa dipastikan pos belanja pegawainya meningkat
sangat pesat. Sekali lagi, masalahnya, ini kan baru di satu unit kerja. Bisa
dibayangkan jumlah pegawai yang harus menjadi PPPK di semua organisasi
perangkat daerah kabupaten tersebut.
Itu baru problem di tingkat
kabupaten/kota. Di tingkat provinsi juga tidak berbeda jauh. Di salah satu OPD
saja, tenaga harian lepas (THL) ada yang mencapai 2.700 orang. Di OPD lain
jumlahnya bervarisi, ada yang mencapai 1.000 orang, ada yang 500, dan
lain-lain. Artinya, di Provinsi Jawa Barat pun jumlah tenaga honorernya tidak
sedikit. Kondisi serupa bisa dipastikan terjadi pula di seluruh provinsi dan
kabupaten/kota di seluruh Indonesia.
Menilik jumlah honorer pada bidang
pendidikan dan kesehatan saja, jumlahnya pasti sangat banyak. Bukankah selama
ini kita kerap kali mendengar keluhan perawat/bidan atau guru honorer yang
tersebar di berbagai wilayah? Bahkan, beberapa waktu lalu ribuan pegawai
honorer menggelar aksi long march dari patung kuda menuju Istana Negara,
Jakarta.
Surat Menteri PANRB tersebut memang
bukan satu-satunya aturan terkait kepegawaian. Ada sederet peraturan
perundang-undangan lain yang terkait dengan itu. Sebut saja misalnya,
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN).
UU tersebut ditindaklanjuti dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil
(PNS). Ada pula Peraturan Pemerintah Nomor 17 tahun 2020 tentang Perubahan Atas
Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri
Sipil. Bahkan, secara khusus ada Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2018
tentang Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
Lebih spresifik lagi, Tenaga Honorer
yang telah bekerja di lingkungan Instansi Pemerintah telah diatur berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005. PP tersebut kemudian juga telah
diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas
Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer
Menjadi Pegawai Negeri Sipil.
Perubahan terakhir dituangkan dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi
Pegawai Negeri Sipil.
Namun, sekali lagi, andai surat
tersebut lantas ditindaklanjuti dengan pengangkatan tenaga honorer menjadi
PPPK, ada beberapa konsekuensi yang harus dipikirkan secara matang.
Pertama, tujuannya memang pasti positif di
satu sisi. Untuk mayoritas tenaga honorer, tampaknya kebijakan tersebut membawa
berkah. Selain bisa menjadi kepastian hukum soal status kepegawaian, bisa jadi
pula, take home pey mereka meningkat.
Kedua, bagaimana dengan kasus spesial,
misalnnya terkait tunjangan jasa pelayanan untuk tenaga kesehatan, khususnya
para dokter spesialis?
Ketiga, mungkinkah beban pembiayaannya
dilakukan dengan cara co-sharing? Hingga saat ini, APBD provinsi/kota/kabupaten
mana kuat menanggung peningkatan pos belanja pegawai tersebut?
Ada beberapa hal menarik lainnya
yang harus dicermati terkait Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2018 tentang
Manajemen PPPK diundangkan pada tanggal 28 Nopember 2018.
a. Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja
yang selanjutnya disingkat PPPK adalah warga negara Indonesia yang memenuhi
syarat tertentu, yang diangkat berdasarkan perjanjian kerja untuk jangka
waktu tertentu dalam rangka melaksanakan tugas pemerintahan.
b. Jabatan ASN yang dapat diisi oleh PPPK,
meliputi JF dan JPT.
c. Adapun JPT yang dapat diisi dari PPPK
sebagaimana tersebut dalam Pasal 5 adalah JPT Utama tertentu dan JPT Madya
tertentu.
d. Sedangkan untuk JF yang diisi oleh PPPK
sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2020 tentang Jenis
Jabatan Yang Dapat Diisi Oleh PPPK dan Keputusan Menteri PANRB Nomor 76 Tahun
2022 tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri PANRB Nomor 1197 Tahun 2021
tentang Jabatan Fungsional Yang dapat Diisi Oleh Pegawai Pemerintah Dengan
Perjanjian Kerja.
e. PPK dilarang mengangkat pegawai non-PNS
dan/atau non-PPPK untuk mengisi jabatan ASN. Larangan tersebut juga bagi
pejabat lain di lingkungan instansi pemerintah yang melakukan pengangkatan
pegawai non-PNS dan/atau non-PPPK. PPK dan pejabat lain yang mengangkat pegawai
non-PNS dan/atau non-PPPK untuk mengisi jabatan ASN dikenakan sanksi sesuai
ketentuan peraturan perundang- undangan.
g. Pegawai Non-PNS dalam jangka waktu paling
lama 5 (lima) tahun dapat diangkat menjadi PPPK apabila memenuhi persyaratan.
Keempat . Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen PPPK diundangkan pada tanggal 28 November 2018. Dengan demikian, pemberlakuan 5 (lima) tahun sebagaimana tersebut dalam Pasal 99 ayat (1) jatuh pada tanggal 28 November 2023 yang mewajibkan status kepegawaian di lingkungan Instansi Pemerintah terdiri dari 2 (dua) jenis kepegawaian, yaitu PNS dan PPPK.
Terkait hal itu, ada beberapa hal
yang mesti diperhatikan oleh para Pejabat Pembina Kepegawaian:
a. Melakukan pemetaan pegawai non-ASN di lingkungan
instansi masing-masing dan bagi yang memenuhi syarat dapat
diikutsertakan/diberikan kesempatan mengikuti seleksiCalon PNS maupun PPPK.
b. Menghapuskan jenis kepegawaian selain PNS dan
PPPK di lingkungan Instansi masing-masing dan tidak melakukan perekrutan
pegawai non-ASN.
c. Dalam hal Instansi Pemerintah membutuhkan
tenaga lain seperti Pengemudi, Tenaga Kebersihan dan Satuan Pengamanan dapat
dilakukan melalui Tenaga Alih Daya (Outsourcing) oleh pihak ketiga dan
status Tenaga Alih Daya (Outsourcing) tersebut bukan merupakan Tenaga Honorer
pada instansi yang bersangkutan.
d. Menyusun langkah strategis penyelesaian
pegawai non-ASN yang tidak memenuhi syarat dan tidak lulus seleksi Calon PNS
maupun Calon PPPK sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan sebelum batas
waktu tanggal 28 Nopember 2023.
e. Bagi Pejabat Pembina Kepegawaian yang tidak
mengindahkan amanat sebagaimana tersebut di atas dan tetap mengangkat pegawai
non-ASN akan diberikan sanksi berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan dan dapat menjadi bagian dari objek temuan pemeriksaan bagi
pengawas internal maupun eksternal Pemerintah.
Semoga implementasinya menberi
dampak kesejahteraan masyarakat, khususnya para tenaga honorer di lingkungan
Kementerian/Lembaga dan instansi di lingkungan pemerintah
pusat/provinsi/kabupaten/kota. (*).