Webinar Dewan Pers terkait RUU KUHP |
Anggota Komisi Hukum dan
Perundang-Undangan Dewan Pers, Hendrayana yang tampil sebagai moderator semalam
menegaskan, kalangan pers harus mengkritisi dan menyikapi RUU KUHP yang di
dalamnya terdapat pasal-pasal yang berpotensi mengancam kebebasan pers.
“Jangan sampai RUU ini diketok palu,
dan menjadi masalah untuk kebebasan pers,” kata Hendrayana yang juga ahli hukum
pers dan Direktur Eksekutif Lembaga Pers Dr Soetomo (LPDS).
Reaksi Dewan Pers dan konstituennya
itu menanggapi munculnya informasi yang menyebutkan Komisi III Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) RI bersama Pemerintah melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia (Kemenkumham) sepakat untuk kembali melanjutkan pembahasan atas Revisi
Undang-undang (RUU) KUHP dan RUU Pemasyarakatan pada akhir Mei 2022.
Diskusi Dewan Pers yang dilaksanakan
Senin malam itu berlangsung sekitar 2
jam, yang di mulai pukul 19.00 dengan moderator Hendrayana. Dari Dewan Pers
hadir anggota Dewan Pers Arif Zulkifli Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan
Dewan Pers dan Dr Ninik Rahayu, S.H, M.S yang juga anggota Dewan Pers.
Sesuai daftar undangan, peserta
diskusi terdiri dari, Anggota Dewan Pers, Tenaga Ahli Komisi Hukum dan
Perundang-undangan Dewan Pers, Kelompok Kerja Komisi Hukum dan
Perundang-undangan Dewan Pers, Lemaga Bantuan Hukum Pers, dan perwakilan dari
Konstituen Dewan Pers.
Konstituen Dewan Pers dalam diskusi
ini mengirim perwakilan organisasi masing-masing, yakni SMSI, Persatuan Wartawan Indonesia(PWI),
Aliansi Jurnalistik Independen (AJI) Indonesia, Ikatan Jurnalis Televisi
Indonesia (IJTI) , Ketua Serikat Perusahaan Pers (SPS), Asosiasi Televisi Lokal
Indonesia (ATVLI), Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), Persatuan Radio
Siaran Swasta Nasional (PRSSNI), Pewarta Foto Indonesia (PFI), Asosiasi Media
Siber Indonesia (AMSI), dan Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI).
Selain itu, hadir juga perwakilan
dari Tim Kajian RUU KUHP Dewan Pers tahun 2020, diantaranya, Ahmad Djauhar, dan
K. Candi Sinaga.
Arif Zulkifli sebelum diskusi
dimulai memberi arahan untuk mencermati bahayanya pasal-pasal rancangan KUHP
apabila diterapkan, apakah akan berpotensi mengkriminalisasi wartawan, apa yang
harus dilakukan bersama-sama.
Dalam diskusi secara tegas dan jelas
ahli hukum tata negara dan kebijakan Bivitri Susanti yang menjadi pembicara
menjelaskan pasal per pasal yang berpotensi menghambat dan mengancam
kemerdekaan pers.
Pemerintah dan DPR RI, kata Bivitri
sudah diberi masukan mengenai RUU KUHP sejak tahun 1980-an, tapi tidak mau
mengubahnya. “Kenapa keukeuh banget,” kata Bivitri Susanti.
Bivitri yang mengikuti perjalanan
RUU KUHP secara seksama menuturkan, tahun 2019, RUU tersebut hampir diketok
palu untuk diputuskan. Tetapi kemudian ditarik karena ada pasal- pasal yang
kontroversial.
Pada 22 Mei 2022, dalam rapat
dipresentasikan kembali, masih ada 14 pasal kontroversi, termasuk yang
mengancam kebebasan pers. “Pada 4 Juli 2022 draft KUHP dibuka ke publik. Tidak
berubah juga,” kata Bivitri.
Persoalan RUU KUHP menjadi
menakutkan dan menyurutkan kemerdekaan pers apabila diputuskan. Hal ini harus
menjadi perhatian kalangan pers.
Untuk turut mencermati RUU KUHP,
Ketua Umum SMSI Firdaus mengirim tim yang diketuai oleh Makali Kumar SH, ketua
bidang Hukum, Arbitrase, dan Legislasi SMSI Pusat untuk hadir dalam diskusi
tersebut.
“SMSI tetap konsisten untuk menolak
adanya pasal-pasal di RUU KUHP yang berpotensi merusak kemerdekaan pers, dan
tidak sejalan dengan UU Pers No 40 tahun 1999 tentang Pers. SMSI akan berada di
garda terdepan bersama Dewan Pers dan berbagai kalangan Pers dalam menyikapi
rencana DPR dan Pemerintah dalam melanjutkan pembahasan dan isu penetapan RUU
KUHP tersebut,” ujar Makali Kumar saat mengikuti diskusi malam itu.
SMSI seperti disampaikan Makali
Kumar, mengharapkan Dewan Pers dan semua organisasi pers untuk konsisten, tegas
dan jelas langkahnya dalam mengkritisi sedikitnya 14 pasal RUU KUHP yang
mengancam kebebasan pers, yang disuarakan sejak tahun 2018. Dewan Pers saat
itu menyatakan dalam RUU KUHP tersebut,
banyak pasal-pasal yang mengancam
kebebasan pers dan berekspresi.
Sedikitnya, ada 14 Pasal yang menyimpang dari semangat reformasi dan
mengancam proses demokratisasi di Indonesia.
“Jika DPR dan Pemerintah kembali
melanjutkan dan akan menetapkan RUU KUHP itu, SMSI akan ikut mengawal, dan menolak adanya pasal-pasal yang akan
mengancam kebebasan pers. Kalau masih ada pasal-pasal karet dalam RUU KUHP itu,
maka kami akan menolaknya, karena akan mengancam kebebasan pers dan pekerja pers berisiko tinggi dipidanakan”
tambah Makali yang ditemani oleh timnya, yakni M Nasir, Sahatma Refindo, dan Bernadus Wilson Lumi (Ketua
Forum Pemred Media Siber Indonesia), dan Hendra J Kede.
SMSI sendiri, sejak awal ikut
mencermati, saat RUU KUHP mencuat, banyak rancangan aturan yang akan mengontrol
ketat urusan menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar
sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar
oleh umum.
Banyak pasal-pasal Rancangan KUHP
(RKUHP) yang disikapi dan dikritisi SMSI, diantaranya tentang
penghinaan Presiden dan Wakil
Presiden yang ada dalam Pasal 219 RKUHP. Dalam pasal itu, adanya ancaman pidana
maksimal 4 tahun 6 bulan atau pidana denda bagi setiap orang yang menyiarkan
tulisan atau gambar berisi penyerangan kehormatan presiden dan wakil presiden.
Kemudian, Pasal 240 RKUHP juga mengatur hukuman penjara maksimal tiga tahun dan
denda kepada orang yang menghina pemerintah hingga mengakibatkan kerusuhan.
Pasal-pasal itu dianggap seperti aturan zaman kolonial yang ditujukan untuk
menindas rakyat yang dijajahnya.
Kemudian, tentang Penyiaran Berita Bohong (PBB), yang
tercantum dalam Pasal 262 RKUHP. Saat itu, disebutkan, setiap orang yang
menyebarluaskan berita bohong dapat dipenjara 4 tahun penjara. Selain itu,
pasal 263 menyatakan pihak yang menyiarkan kabar yang tidak pasti,
berlebih-lebihan dan bisa meyebabkan keonaran di masyarakat dipenjara maksimal
2 tahun. Pasal ini berpotensi menjadi pasal karet. Pasal ini, berpotensi
menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan, khususnya dalam pemberitaan yang dianggap
merugikan pemerintah atau penegak hukum.
Selanjutnya, tentang Penghinaan
Pengadilan (PP) yang saat itu masuk dalam Pasal 281 RKUHP yang mengatur
mengenai tindakan penghinaan terhadap pengadilan atau contempt of court. Dalam
pasal itu diatur bahwa seseorang bisa dipenjara selama setahun apabila bersikap
tidak hormat, atau tidak berpihak ke hakim. Seseorang diancam hukuman serupa
apabila merekam dan mempublikasikan sesuatu yang dianggap mempengaruhi
independensi hakim di pengadilan. Pasal ini dinilai akan menghambat pengawasan
publik terhadap proses pengadilan.
Kemudian, tentang Penghinaan Agama,
Lembaga Negara dan Pencemaran Nama Baik yang diatur dalam Pasal 304 RKUHP
mengancam penjara 5 tahun bagi orang yang melakukan penistaan agama di depan
umum. Pasal 353 mengatur penghinaan terhadap penguasa atau lembaga negara
dipidana paling lama 1 tahun 6 bulan. Lalu pasal 440 mengatur soal pencemaran
nama baik dengan pidana 9 hingga 1,5 tahun bulan penjara. Pasal penghinaan
terhadap pemerintah bertentangan dengan konstitusi. Karena menurut Mahkamah
Konstitusi (MK), menyampaikan kritik terhadap pemerintah adalah hak konstitusi
setiap warga Negara.
Selain itu, tentang Tindak Pidana
Pembukaan Rahasia (TPPR) yang diatur dalam Pasal 450 dalam RKUHP. Pasal ini
mengatur mengenai pejabat pemerintah yang menyebarkan informasi rahasia diancam
dengan hukuman 1 tahun penjara. Sementara pasal 451 mengatur mengenai ancaman
hukuman 2 tahun penjara bagi orang yang memberitahukan rahasia perusahaan.
Pasal ini dicurigai, sengaja dibuat untuk melindungi kepentingan pihak-pihak
tertentu.
Dari materi dsskusi Dewan pers itu,
perwakilan SMSI mencermati ada 5 pointer. Pertama, peserta diskusi menyepakati
untuk konsisten mengkritisi dan menolak
pasal-pasal RUU KUHP yang bertentangan dengan kebebasan pers dan demokratisasi.
Kedua, dalam waktu dekat membentuk
tim kecil untuk setting agenda strategis,
dan rutin pembahasan secara detail sikap dewan pers bersama Konstituen
terhadap RUU KUHP. Ketiga, Dewan pers segera membuat pernyataan sikap dan pers
realese untuk di-publish secara
serentak.
Keempat, Dewan pers bersama
Konstituen melakukan lobi secara lembaga maupun personal ke DPR dan Pemerintah, maupun Pimpinan Parpol untuk
memperjuangkan sampai berhasil aspirasi pers terkait RUU KUHP, baik penolakan
pasal "karet" yang berpotensi
kriminalisasi terhadap pers dan merusak kebebasan pers maupun merevisi
pasal-pasal yang disesuaikan dengan UU Pers no 40 tahun 1999 tentang pers.
Kelima, harus ada langkah nyata dan
rencana strategis dari Dewan Pers dan konstituen untuk tidak kecolongan dengan
sikap DPR RI yg dalam waktu dekat akan mengesahkan RUU KUHP. Meskipun DPR
sedang reses 2 bulan, tetap mencermati dan menyikapinya secara serius tiap
waktu. (*/red).