Hendry
Ch Bangun (Anggota Dewan Penasihat Serikat Media Siber Indonesia) |
Mari kita mendoakan agar arwah
mereka diterima baik di sisiNya dan semoga kejadian menyedihkan seperti itu
tidak terjadi lagi di negara kita, atau dimana pun.
Bermain sepakbola mestinya adalah
peristiwa menggembirakan sehingga baik pemain maupun penonton harus
menerima hasil dengan apa adanya, walaupun ada sisi persaingan untuk
mendapatkan kemenangan dari dua tim yang bermain di lapangan. Dan kita
menyaksikan pertandingan di liga-liga besar di Eropa, Amerika Latin
ataupun Asia, Afrika, sportivitas sangat dijaga.
Hal itu antara lain ditunjukkan oleh
pemain, yang kalah ataupun menang, yang menyampaikan terima kasih ke pendukung
mereka. Tentu saja selalu ada penyimpangan dan dampak, tapi itu sangat sedikit.
Di Indonesia, seperti juga di
kebanyakan negara di dunia, sepakbola adalah olahraga popular yang disukai
siapapun, tua muda, laki-laki atau perempuan, dari Sabang sampai Merauke, dari
Miangas sampai Pulau Rote.
Entah kapan mulai masuknya ke negeri
ini, tetapi karena ini olahraga orang Eropa, diyakini bahwa yang
membawanya adalah Belanda, ketika mereka masuk dan kemudian menguasai Hindia
Belanda.
Menurut penelurusan yang saya
lakukan belasan tahun lalu, meskipun sudah ada permainan sepakbola di
kampung-kampung, pertandingan “resmi” antarperkumpulan baru dimulai pada tahun
1906.
Saya melakukan studi kepustakaan,
menjelajah koran-koran berbahasa Melayu untuk mencari berita-berita tentang
olahraga yang mereka muat. Dan akhirnya menyimpulkan bahwa berita pertandingan
resmi antarklub sepakbola diadakan hari Minggu 5 Agustus 1906, seperti
diberitakan oleh Pemberita Betawi terbitan 4 Agustus 1906.
Sepakraga
(Voetbaal)
Besok hari Minggoe di tanah lapang
Singa ada orang bermain voetbal.
Perhimpoenan B.V.C dengan Sparta,
dan perhimpoenan Achilles dengan Hercules.
Beritanya singkat, seperti
pengumuman saja, tetapi sudah menunjukkan setidaknya pada waktu itu ada empat
perhimpunan sepakbola yang ikut kejuaraan walau ada belasan klub Eropa ada di
Betawi.
Melihat nama-namanya klub yang ada
ini merupakan perkumpulan sepakbola milik atau berisikan pemain Belanda atau
Eropa meski dari waktu ke waktu orang Melayu, dan Tionghoa juga ikut menjadi
pemain sepakbola.
BVC adalah Batavia Voetbal Club,
sedang Sparta, Achilles, Hercules, Vios, dapat diketahui adalah nama klub yang
ada di Belanda dan ditiru namanya di Hindia Belanda.
Agar diingat pada masa itu
pemerintah kolonial membagi tiga kelompok masyarakat, yaitu kelompok Eropa,
orang Asing (Asia yakni Arab dan Tionghoa), dan orang Slam (maksudnya Islam).
Klub pribumi nanti memiliki
nama-nama seperti Tjahja Betawi, Tegoeh Setia, Bintang Timur, Sinar Kota, Seri
Gunawan, Raksasa, Sinar Boelan, bahkan Tamba Loemajan.
Sedangkan klub Tionghoa, misalnya
Tiong Hoa Voetbal Club, Tiong Hoa Sport Vereenniging, Thien Nien Hui, Chung
Hua, atau bernama netral seperti Union Makes Strength (UMS) yang sampai
sekarang tetap eksis.
Tidak hanya di sepakbola,
perkumpulan olahraga orang Tionghoa untuk bulutangkis bahkan lebih banyak lagi.
Oleh kalangan Tiong Hoa, olahraga dianggap sebagai sarana untuk menunjukkan
kekuatan mereka, khususnya terhadap pemerintah kolonial bahwa mereka adalah
bangsa yang tangguh meski kerap direndahkan bangsa Eropa.
Di Jawa Timur, pertandingan
sepakbola di tahun 1930an sudah ramai dilakukan. Ada kompetisi antarklub di
Surabaya, yang sudah menggabungkan perkumpulan semua bangsa, di bawah
Nederlands Indie Voetbal Bond (NIVB). Nanti belakangan, ketika PSSI
(Persatuan Sepakraga Seluruh Indonesia) berdiri pada 19 April 1930 di
Mataram, ada juga perkumpulan sepakbola khususnya pribumi hanya mau
berkompetisi di bawah naungan PSSI.
Dualisme ini terus berlangsung dalam
kondisi tidak seimbang karena NIVB disokong pemerintah sementara PSSI ditopang
dukungan masyarakat yang terbatas kemampuan finansial meskipun semangat
sepakbolanya tinggi sehingga kualitasnya kadang lebih bermutu, ditunjukkan
dengan, bila ada klub luar negeri yang bermain PSSI menang sedang NIVB kalah.
Sebagai dua kota terbesar di Jawa
Timur, Surabaya dan Malang memiliki pemain-pemain sepakbola handal. Dari berita
yang dimuat di koran Sin Po terbitan 16 Februari 1934, ditulis tentang
pertandingan antara Surabaya dan Malang di lapangan Tiong Hoa, untuk kompetisi
NIVB yang berkesudahan 6-0 untuk tuan rumah Surabaya.
Dari susunan pemain terlihat bahwa
dua kesebelasan terdiri dari bangsa Eropa, Melayu, dan Tionghoa. Pemain untuk
pertandingan kedua kota ini berasal dari klub di kota masing-masing. Harings
misalnya bermain untuk klub Thor, Kwai Sing dari klub Tiong Hoa.
Surabaya menampilkan De Wilde
(kiper), Baumgarten dan Chin Hoat (bek), Achmad, Sie Liong, Nawir (gelandang),
Harings, Hian Gwan, Lohy, Kwai Sing, Hong Djin (penyerang).
Malang juga memakai formasi sama,
dengan Mo Heng sebagai kiper, dia ini yang menjadi penjaga gawang tim nasional
ketika Hindia Belanda tampil di Piala Dunia Perancis tahun 1939. Pemain lainnya
adalah Thong Thjiang, Dorms (bek), Mespelblom, Meyer, Schuurman/Bing Lie
(gelandang), Goudsmit, Giok Tjoe, Moestamie, Van de Steegh, Polihury
(penyerang).
Untuk mendapatkan gambaran tentang
berita pertandingan tersebut dan juga acara pemberitaan pada tahun 1934 itu,
berikut saya kutipkan beberapa alinea, sesuai aslinya:
Boeat ronde kadoea dari
afdelingwedstrijd NIVB antara Soerbaja dan Malang telah dibikin ini hari di
bawah pimpinan refree Hartog dari Semarang. Sajang sekali ini wedstrijd
diganggoe oleh oedjan, maskipoen pertandingan dilandjoetkan teroes,
tetapi spelkwaliteit ada toeroen. Soerabaja ada banjak lebih koeat.
Technisch dan tachtiesch spelers Soerabaja ada banjak lebih oenggoel.
Ada menarik hati, bagaimana goal
pertama ditjitak oleh Kwai Sing, jang di ini wedstrijd ada sanget favorite dan
saban-saban dapet kaokan dari publiek Eropa.
Itu goel ada bagoes. Dari tengah di
waktu refree tioep fluit pertama, bola oleh Sie Liong disontek pada Kwai Sing
dan ngiprit sendirian dengan temboesin antero pendjagahan Malang sampe bisa
deketin doel. Satoe tembakan bikin djalanya Malang tergeter.
Doea menit baroe maen goal sudah
ditjitak. Tapi ada satoe-satoenya goal di periode pertama, sebab sampai pause
stand tetap 1-0.
Sebentar lagi oedjan toeroen, tapi
Tiong Hoa veld tida takoet aer, djadi pertandingan bisa dimaenkan teroes. ……
Satoe koetika bola oleh Harings
didjedjelken masoek. Hian Gwan seperti kilat menjamber pada bola jang menembak
dengan direct. Bola dengen keras mandek dalam djaring, 5-0.
Malang soeda djadi down. Soerabaja
berkoeasa betoel-betoel di atas lapangan. Satoe vrij schop ditembak ka
samping.
Oerang doega Soerabaja masih aken
bisa tjitak lagi satoe goal, sebab saban-saban bola menoedjoe ka benteng
Malang. Satoe tembakan dari Haring ditahan oleh keeper. Bola mental ka tengah
dimana Lohy bersedia. Bola dari badannja Lohy balik ka dalem doel dan
stand 6-0. Tidak lama kamoedian pertandingan brenti.
Saya tidak menemukan berita dan
hasil pertandingan pertama, yang mestinya diadakan di Malang, beberapa hari
sebelumnya. Dan di berita ini sendiri tidak muat hasil pertandingan kandang dan
tandang, untuk menentukan hasil akhir pertemuan Surabaya dan Malang.
Bahwa hasil pertandingan tidak
selalu sesuai harapan, akan selalu ada, tetapi berkaca dari sebuah pertandingan
di Betawi pada tahun 1930 dapat menjadi teladan. Klub UMS di kompetisi divisi 2
mestinya sudah ditetapkan sebagai juara tetapi karena menang 2-1, namun
kemenangann itu diprotes karena ada gol yang semula dianulir dianggap
sah, Protest Commisie VBO menerimanya dan hasil akhir ditetapkan 2-2.
Di pertandingan kedua UMS kembali
menang 2-1, tetapi lagi-lagi diprotes lawan, karena di dalam Peraturan VBO,
tidak ada aturan bahwa penentuan pemenang pertandingan dilakukan lewat
perpanjangan waktu. Protes ini pun diterima, sehingga VBO menetapkan ada
pertandingan ketiga.
Pengurus, pemain, dan supporter UMS
pusing bukan kepalang. Sudah dua kali menang di lapangan tetapi dua-duanya
seperti tidak berarti, mereka harus berjuang untuk ketiga kalinya. Begini
berita di koran Djawa Tengah terbitan 14 April 1930:
Dalam doenia voetbal di Batavia,
baroe ini kali kita alamken satoe keada’an di mana kampioenschap klas doea
dipereboetin begitoe poenja soesa. Tida koerang dari tiga kali moesti diadaken
beslissingwedstrijd boewat itoe.
Liwat tiga minggoe ada kita wartaken
tentang beslissingwedstrijd pertama antara UMS 2 versus B (ataksche) V (oetbal)
V (ereeniging) yang berkasoedahan 2-1 boeat kaoentoengannja UMS, kamoedian ini
uitslag diroba djadi 2-2, kerna protesnya BVV atas satoe goal jang oleh referee
tidak didjadiken diakoeh sah oleh Protest Commisie VBO. Lantaran demikian djadi
ini pertandingan moesti dioelangin lagi.
Beslissingwedstrijd kadoea seperti
djoega kita soeda kabarken, dilakoekan pada minggoe berselang, 6 April, dan
kasoedahannja djoeda 2-1 boeat kamenagannya itu perkumpulan Tionghoa sasoedanja
doea kali verlenging dan itoe goal kemenangan boeat UMS ditjitak dalam
verlenging kadoea. Itoe kasoedahan djoega tida ditrima baek oleh BVV beralesan
katanja dalam Reglement VBO tidak ada verlenging same doea kali dan djoega
kenapa dalam match pertama tidak diverlengd. Protest Commisie VBO kombali trima
baek BVV poenja protest hingga beslissingwedstrijd jang katiga harus diadaken.
Tidakkah pembatja djadi goleng
kepala menampak keadaan demikian?
UMS akhirnya tetap menjadi juara
divisi dua setelah di pertandingan ketiga pada 13 April 1930 di lapangan BVC,
berhasil lagi-lagi menang dengan skor 2-1. Mereka meskipun dikerjai lawan yang
didukung pengurus asosiasi, UMS tetap sabar, berjuang, dan menang. Begitulah
cara menghadapi persoalan yang elegan, bukan dengan marah, patah arah, apalagi
melakukan tindakan anarkis dan memalukan.
Petasan boeat katiga kalinja
disoeloet dan ini kali ada jang paling lama, hingga asepnya seperti taboenan!…
UMS 2 tetep boleh gondola itoe
gelaran Kampioen, kerna sekarang tidak ada portas-portesss lagi! Kitapoenja
pengatoeran slamet jang kadoe kalinja…
Bisa jadi kita menengok kembali ke
masa lalu yang baik, untuk memetik pelajaran untuk maju di masa mendatang.
Entah itu PSSI yang kerap sesuka hatinya membuat aturan—bergantung pada kemauan
sponsor–, atau perkumpulan yang seharusnya mendisiplinkan diri dalam semua hal
dalam menjaga sportivitas, dan tentu saja masyarakat yang seharusnya menikmati
pertandingan dan bukan menjadi korban yang tak perlu.(*).