inilah JPO di jalan Ir.H. Djuanda (Dago) yang beralih jadi JPR yg dapat membahayakan pengendara |
Terkait masalah reklame, Pemerhati Tata Ruang lulusan Planologi
Universitas Islam Bandung (UNISBA) Deny Zaelani menilai penataan reklame di
Kota Bandung carut marut dan terkesan tanpa melalui kajian terlebih dahulu
terkait penempatan titik reklame.
Bahkan, telah terjadi alih fungsi Jembatan Penyeberangan Orang (JPO)
menjadi Jembatan Penyangga Reklame (JPR). Hal ini dapat ditemukan di Jalan Ir.H.Djuanda atau jalan Dago didekat
SMAN 1 Bandung.
Berdasarkan informasi JPO di Jalan Dago yang
beralih jadi JPR itu batal/ urung
dibongkar karena sang pengusaha telah koordinasi dengan salahsatu petinggi Kota
Bandung. Padahal ijinnya disinyalir sudah tidak berlaku alias bodong.
Lebih lanjut Deny mengatakan, Kota Bandung sekarang telah menjadi Kota
Metropolitan dan ke depan akan menjadi Kota Megapolitan. Sehingga penataan
ruang harus betul-betul diperhatikan dan perlu pengkajian lebih seksama,
termasuk penempatan titik reklame,” jelasnya kepada wartawan, Kamis
(3/11/2022). Maka penempatan reklame harus benar benar dikaji ulang.
Keberadaan JPO itu untuk masyarakat
yang akan menyeberang jalan, agar aman dari kecelakaan. Namun kini keberadaan
JPO malah aih fungsi menjadi JPR (jembatan penyangga reklame) ini kan aneh,
ujarnya.
Jadi menurut Deni, persoalan JPO saat ini harus lebih melihat
fungsi dan manfaatnya serta dilihat dari segi estetikanya.inilah JPO di jalan Ir.H. Djuanda (Dago) yang beralih jadi JPR
“Yang terjadi saat ini JPO nyaris
tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Malahan kalau saya lihat sudah beralih
fungsi menjadi penyangga reklame alias kepentingan bisnis para pengusaha. Misalnya JPO di Jalan Ir H. Juanda, coba perhatikan
ada ga orang yang memanfaatkan JPO tersebut,”terangnya.
“Jadi intinya penempatan reklame ini
harus berdasarkan analisa atau kajian jangan terkesan asal-asalan. Apalagi
kalau memang surat ijinya sudah tidak berlaku lagi, Pemerintah Kota Bandung
harus tegas menyikapinya,” imbuhnya.
Dikatakanya Kota Bandung itu tidak
butuh pemimpin yang pinter, namun membutuhkan pemimpin yang mempunyai rasa
memiliki. “Sehingga ketika melakukan aksinya akan secara sungguh-sungguh
teruatama dalam penataan ruang. Dengan begitu, masyarakat dapat merasakan
manfaatnya,” pungkasnya.(**).