BANDUNG, faktabandungraya.com,- Sidang kasus dugaan penipuan mencatut nama Waskita Karya, kembali digelar di Pengadilan Negeri (PN) Bandung, Kamis 15 Desember 2022. Dalam sidang dengan agenda pembuktian ini, dua saksi yang dihadirkan menyebut, terdakwa yakni Ir. H. Bebi Hendrawibawa, MT, menawarkan pekerjaan jalan tol di Palembang bentuknya kerjasama yang diklaim dari PT. Waskita Karya kepada H. Oyo Sunaryo Budiman, pengusaha asal Cirebon (korban).
"Memang benar, terdakwa menawarkan pekerjaan itu (proyek jalan tol di Palembang), katanya bentuk kerjasama dari PT. Waskita Karya. Dokumen kontraknya dikirimkan ke kantor Pak H," ujar saksi H. Deden Aldiansyah, dalam kesaksiannya di hadapan majelis hakim di persidangan.
Dalam persidangan kedua kasus penipuan itu, dari tidak saksi yang diajukan, hanya dua yang hadir. Yakni H. Deden Aldiansyah (anak H. Oyo/korban) dan Didi Darmadi, staf keuangan PT. Karya Kita Putra Pertiwi (perusahaan milik H. Oyo).
Dijelaskan saksi, terdakwa meyakinkan korban dengan mengirimkan dokumen kontrak berkop surat PT. Waskita Karya, dengan stempel dan tandatangan Direktur PT. Waskita Karya Cabang Pelembang atas nama Haris Nur Muhamad, S.Ip, MM, MBA.
"Saya melihat langsung dokumen kontraknya. Dokumen itu saya lihat setelah muncul permasalahan ini. Awalnya saya hanya mendengar cerita dari ayah saya (H. Oyo/korban). Setelah permasalahan muncul, ayah saya memperlihatkan dokumen kontraknya," ucap H.Deden.
Ketua Majelis Hakim yang memimpin persidangan, H. Sucipto, SH, lalu menanyakan kronologi peristiwa dugaan penipuan itu, menurut yang diketahui saksi H. Deden. "Peristiwa ini berawal pada April 2018. Dimana terdakwa menelpon ayah saya, menawarkan pekerjaan jalan tol bentuk kerjasama dengan PT. Waskita Karya. Saat itu terdakwa meminta permodalan antara 18 miliar rupiah sampai 25 miliar rupiah, dengan memberikan dokumen kontrak senilai 30 miliar," ucap H. Deden.
Saat itu, lanjut H. Deden, terdakwa mengimingi ayahnya (H. Oyo) terkait keuntungan atau fee dari proyek tersebut. Singkat cerita, H. Oyo pun tertarik, terlebih setelah diperlihatkan dokumen kontraknya. Hal lain yang membuat H. Oyo percaya, karena dirinya sudah mengenal dekat terdakwa. Hubungan mereka sudah terjalin selama bertahun-tahun.
"Karena tak ada uang, ayah saya kemudian mengajukan pinjaman permodalan ke BRI, dengan jaminan dokumen kontrak itu. Namun saat diajukan ke bank itu, pihak bank menyebut kalau nilai kontrak 30 miliar tak bisa mendapatkan pinjaman antara 18 sampai 25 miliar," lanjut H. Deden.
Selanjutnya H. Oyo mengkonfirmasikan apa yang dinyatakan pihak bank ke terdakwa. Dan beberapa hari kemudian terdakwa mengirimkan kembali dokumen kontrak senilai Rp71 miliar.
"Dengan nilai kontrak itu, pihak bank memberikan pinjaman modal sebesar 16 miliar rupiah. Ditambah tambahan lainnya sebesar dua miliar rupiah. Uang itu kemudian diberikan kepada terdakwa melalui transfer bank oleh pihak ayah saya. Pengiriman uang secara transfer dilakukan beberapa kali, sesuai arahan terdakwa," kata H. Deden.
Namun, lanjut H. Deden, dari semua janji soal keuntungan itu, tak ada realisasinya. Bahkan, untuk pengembalian modal pun tak kunjung dilakukan. Dari awal proyek yang dijanjikan terdakwa, yakni April 2018 sampai November 2018, kata H. Deden, semuanya nihil.
Hingga akhirnya, lanjut H. Deden, ayahnya yang membayar pinjaman itu kepada bank, berikut bunga-bunganya.
Dalam pengajuan permodalan kepada BRI, kata H. Deden, itu menggunakan atas nama perusahaan ayahnya (H. Oyo), yakni PT. Karya Kita Putra Pertiwi. "Dan secara otomatis, yang bertanggung jawab atas pembayaran itu adalah ayah saya, hingga kemudian pinjaman ke bank itu dibayarkan oleh ayah saya, berikut bunganya. Sekarang sudah selesai pembayaran pinjaman itu," jelas H. Deden.
H. Deden memaparkan, total pembayaran yang dilakukan ayahnya kepada pihak bank, berikut tambahan Rp2 miliar, sebesar Rp20 miliar lebih, hampir Rp21 miliar. Sementara, masih kata H. Deden, terdakwa sempat mentransfer uang sebesar Rp 7,5 miliar kepada ayahnya. Namun uang itu bukan dari pembayaran termin pekerjaan.
"Entah uang apa. Soalnya kalau pekerjaan proyek itu kan fiktip. Kenapa demikian, karena dari pihak bank sudah melakukan pengecekan sekaligus konfirmasi ke PT. Waskita Karya, kalau kontrak kerja itu bodong. Tak ada pekerjaan kerjasama dari PT Waskita dengan terdakwa, bahkan nama yang menandatangani kontrak itu, yang disebut Direktur PT. Waskita Karya Cabang Palembang, Haris Nur Muhamad, S.Ip, MM, MBA, itu bohong. Direktur di sana bukan dia," kata H. Deden.
Senada, saksi kedua yakni Didi Darmadi, staf keuangan PT. Karya Kita Putra Pertiwi (perusahaan milik H. Oyo), memaparkan, dirinya yang menerima dokumen kontrak dari terdakwa, berikut mentransfer uang kepada terdakwa.
"Surat kontrak itu dikirim oleh sopirnya terdakwa, kepada perusahaan kami, dan saya yang menerima. Ada dua kali. Yang pertama nilai kontrak 30 miliar rupiah, kemudian yang kedua nilai kontrak 71 miliar rupiah," katanya.
Sidang pun dilanjut hari Selasa mendatang dengan agenda yang sama. (***)