Ketum PWI Pusat Atal S Depari (foto:dok.ist) |
Upaya
DPR memperbarui KUHP lama awalnya disambut hangat berbagai kalangan. KUHP
warisan Belanda yang otoriter dan tidak demokratis memang perlu dirombak.
Perombakan itu, katakanlah, merupakan upaya bersama untuk melakukan
dekolonialisasi atas hukum pidana di Indonesia.
KUHP
yang baru disahkan DPR itu ternyata, justru memperkuat kembali pasal-pasal
otoriter dan anti demokrasi dalam KUHP lama. Padahal sebagian dari pasal-pasal
otoriter dan anti demokrasi itu sesungguhnya sudah berhasil dijinakkan melalui
serangkaian proses amandemen yang didorong kelompok demokrasi selama era
reformasi pasca-1998.
Pasal-pasal
otoriter dan anti demokrasi itu ibarat tumor jinak yang kembali ganas mengancam
kesehatan demokrasi dan keselamatan kita semua.
Tengah
ditunggu apakah Presiden kelak akan menandatangani KUHP baru tersebut atau
tidak. Namun, tanpa tanda tangan Presiden pun, KUHP baru itu akan tetap
berlaku. Dan, PWI Pusat menyayangkan
KUHP baru itu disahkan tanpa mempertimbangkan aspirasi masyarakat sipil dan
pers.
Masyarakat
sipil dan pers benar diundang untuk memberikan masukan dan kritik. Namun
partisipasi masyarakat dalam hal ini hanya formalitas. Hanya menjadi legitimasi
bagi DPR dan Pemerintah untuk mengesahkan KUHP tersebut. Faktanya, keberatan
dan kritik masyarakat tidak benar-benar didengarkan dan digunakan untuk
memperbaiki RKUHP.
KUHP
baru jelas telah mengesampingkan pelembagaan kemerdekaan pers dalam UU No 40
Tahun 1999 tentang Pers. Terdapat banyak pasal KUHP baru yang berpotensi
mengkriminalisasi wartawan dan mengancam kemerdekaan pers.
Lebih
dari itu, PWI melihat KUHP baru memberi ancaman terhadap demokrasi, kebebasan
berekspresi, kebebasan beragama, dan berkeyakinan, serta upaya pemberantasan
korupsi di Indonesia.
Berikut
pasal-pasal bermasalah dalam KUHP baru:
1.
Pasal 188 yang mengatur tentang tindak pidana penyebaran atau pengembangan
ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme.
2.
Pasal 218, Pasal 219, dan Pasal 220 yang mengatur tindak pidana penyerangan
kehormatan atau harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden.
3.
Pasal 240 dan Pasal 241 yang mengatur tindak pidana penghinaan terhadap
pemerintah.
4.
Pasal 263 yang mengatur tindak pidana penyiaran atau penyebarluasan berita atau
pemberitahuan bohong.
5.
Pasal 264 yang mengatur tindak pidana kepada setiap orang yang menyiarkan
berita yang tidak pasti, berlebih-lebihan, atau yang tidak lengkap.
6.
Pasal 280 yang mengatur tentang gangguan dan penyesatan proses peradilan.
7.
Pasal 300, Pasal 301, dan Pasal 302 yang memuat tentang tindak pidana terhadap
agama dan kepercayaan.
8.
Pasal 436 yang mengatur tindak pidana penghinaan ringan.
9.
Pasal 433 mengatur tindak pidana pencemaran.
10.
Pasal 439 mengatur tindak pidana pencemaran orang mati.
11.
Pasal 594 dan Pasal 595 mengatur tindak pidana penerbitan dan pencetakan.
Diperlukan
telaah mendalam atas pasal-pasal bermasalah tersebut, sekaligus merumuskan
langkah-langkah yang diperlukan untuk mempermasalahkannya. PWI Pusat akan
bekerja-sama dengan kalangan masyarakat sipil dan perguruan tinggi untuk
penyikapan lebih lanjut.
Ada dua hal penting yang akan ditekankan di
sini: 1) penegasan dan penguatan prinsip bahwa UU Pers No 40 Tahun 1999
bersifat lex specialis derogat legi generali; 2) penjajakan atas opsi
mengajukan judicial review atas KUHP baru.
Dalam
konteks lain, PWI Pusat juga tengah mendorong percepatan pengesahan regulasi
tentang Publishers Right. Sebagaimana diketahui, pengesahan Publishers Right
merupakan janji Presiden Joko Widodo pada perayaan Hari Pers Nasional (HPN) di
Kendari, Sulawesi Tenggara, 9 Februari 2022.
Dihadapan
komunitas pers nasional, Presiden saat itu menyatakan komitmennya untuk
mendukung pers nasional menghadapi tekanan disrupsi digital.
Publishers
Right sangat penting untuk membangun daya tawar pers nasional menghadapi
monopoli platform global, serta untuk menyehatkan ekosistem media nasional.
Seyogyanya pada puncak HPN tahun 2023 di Sumatera Utara nanti, Presiden Joko
Widodo telah membawa kabar gembira untuk komunitas pers nasional, terkait
dengan hal ini.
PWI
Pusat menyampaikan terima kasih kepada pers nasional yang selama tahun 2022
telah membantu saudara-saudara sebangsa dan se-Tanah Air yang mengalami
musibah: gempa bumi di Cianjur Jawa Barat, gunung meletus di Lumajang, Jawa
Timur, tragedi Kanjuruhan di Malang, Jawa Timur dan lain-lain.
Bantuan
utama yang diberikan pers dalam hal ini tentu saja adalah pemberitaan yang
terus-menerus, komprehensif, sesuai dengan Kode Etik Jurnalistik, mendorong
semua pihak untuk memberikan solidaritas sosial, serta mengingatkan pemerintah
akan penanganan-penanganan yang dibutuhkan.
Semoga
pada tahun 2023 nanti, Pers Indonesia akan tetap berkontribusi positif sebagai
pendorong solidaritas sosial dan perekat persatuan bangsa Indonesia.
Tahun Politik
Tahun
2023 bisa dipastikan kita akan memasuki tahun politik yang semakin semarak dan
berjalan penuh dinamika. Kontestasi politik menjelang Pilpres 2024 pun sudah
bisa kita rasakan sejak tahun 2022. Namun, kontestasi tersebut akan semakin
menghangat tahun 2023.
Proses
kandidasi capres-cawapres akan mengerucut pada tokoh nasional tertentu dan
partai-partai politik akan semakin jelas arah koalisi dan perkubuannya. Dalam
konteks ini, menjaga kemandirian pers dan profesionalisme media adalah misi
penting yang mesti dijalankan dan dikuatkan bersama-sama.
Meskipun
kita sedang menghadapi semakin kuatnya peran politik media sosial, fakta
menunjukkan, media massa konvensional masih menjadi faktor penentu wacana dan
opini publik. Wacana politik elektoral yang terbentuk melalui pemberitaan media
masih sangat diperhitungkan para kandidat yang ingin menjaring opini dan
dukungan masyarakat.
Pada
tahun-tahun politik menjelang pemilu seperti saat, semua kelompok politik akan
berkepentingan terhadap arah pemberitaan media. Mereka tak pelak lagi akan
berusaha mempengaruhi sikap media dan wartawan. Hal ini terjadi baik dalam
konteks pemilu nasional dan pemilu lokal. Dalam konteks inilah, PWI Pusat
menyerukan kepada seluruh anggotanya maupun seluruh komponen pers nasional agar
terus menjaga independensi dan profesioalisme.
Segenap
unsur pers harus menghindari posisi menjadi bagian dari kubu-kubu politik yang
saling berhadapan dalam Pemilu. Para wartawan tidak boleh menjadi tim sukses
atau bahkan menjadi kandidat eksekutif atau legislatif.
Jika
menjadi kandidat atau tim sukses kandidat, aturannya sudah sangat jelas: mundur
dari profesi wartawan, paling tidak mengajukan cuti. Harkat dan martabat
wartawan harus dijaga. Kepercayaan publik terhadap wartawan dan media harus
terus dirawat dan dipertahankan.
Selebihnya,
mari berkontribusi pada pesta demokrasi lima tahunan itu dengan menghadirkan
pemberitaan yang senantiasa berimbang, berdasarkan fakta, proporsional, sesuai
dengan Kode Etik Jurnalistik. Suhu politik boleh menghangat, pertarungan antar
kandidat dalam pemilu boleh memanas, tetapi pemberitaan media massa harus
senantiasa teduh dan mencerahkan masyarakat. Para wartawan harus berada digaris
depan dalam upaya mempertahankan ruang publik yang beretika dan bermartabat.
Hampir
bisa dipastikan, perbincangan politik di media sosial akan berjalan dengan
tajam, keras bahkan konfliktual. Dalam hal ini, sudah semestinya media massa
konvensional menjadi sumber informasi dan diskusi publik yang lebih baik dan
beradab. Hal inilah sumbangsih yang diharapkan semua pihak dapat diperankan
dengan baik oleh komunitas pers nasional.
Kepada Segenap Warga Bangsa, Kami
Mengucapkan Selamat Tahun Baru 2023.
Semoga Pers Indonesia Akan Lebih Baik
Dan Kontributif Dalam Mengawal Perjalanan Bangsa Indonesia Menuju Masa Depan
Yang Lebih Baik.
Jakarta,
27 Desember 2023
Atal S Depari ( Ketua
Umum PWI PUsat).