BANDUNG, faktabandungraya.com,- Sidang perdana kasus dugaan penipuan dan penggelapan yang dilakukan oknum insinyur BH kepada seorang pengusaha asal Cirebon H. Oyo Sunaryo, mulai disidangkan di Pengadilan Negeri (PN) Bandung, Kamis (8/12/2022).
Di hadapan majelis hakim, Jaksa Penuntut Umum yang diketuai Eviyanto, SH, membacakan dakwaan dan tuntutan kepada terdakwa Ir. H. Bebi Hendrawibawa MT, atas tindak penipuan dan penggelapan terhadap H. Oyo, pengusaha asal Cirebon, dengan modus kerjasama pembiayaan proyek jalan tol milik BUMN, PT. Waskita Karya.
Dengan cara memalsukan dokumen kontrak kerja proyek berkop surat mengatasnamakan PT. Waskita Karya. Dalam surat tersebut, tertera tandatangan pejabat direktur Waskita Karya Cabang Palembang.
"Bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan memakai nama palsu atau martabat palsu dengan tipu muslihat, ataupun serangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang maupun menghapus piutang. Perbuatan mana dilakukan terdakwa dengan cara di bawah ini," ujar JPU saat membacakan dakwaannya.
Perbuatan melanggar hukum yang dilakukan terdakwa, lanjut JPU, terjadi pada tahun 2018. "Berawal dari terdakwa menghubungi saksi korban H. Oyo Sunaryo Budiman sebagai Komisaris Utama PT. Karya Kita Putra Pertiwi sekaligus penanggung jawab dan pemilik saham di perusahaan tersebut, pada bulan April 2018," ucap JPU.
Dipaparkan JPU dalam dakwaannya, saksi korban, H. Oyo dengan terdakwa Ir Bebi, sebut JPU, memang sudah saling mengenal dan berhubungan baik, sejak tahun 2009. Itu karena terdakwa sering menemani saksi korban mengurus proyek di kantor Balai Besar Wilayah Sungai Cimanuk.
"Saat itu, terdakwa menawarkan saksi korban untuk kerjasama proyek pengadaan material agregat jalan tol di Palembang. Yang mana terdakwa menawarkan jalan kerjasama dengan PT. Waskita Karya yang lokasi berada di Pelembang, Sumatera Selatan," lanjut JPU.
Dilanjutkan JPU, bentuk penawaran proyek tersebut dilakukan melalui telepon antara terdakwa dengan saksi korban. Saat itu, terdakwa mengatakan kalau dirinya sudah melakukan kerja sama untuk proyek tersebut dengan nilai Rp30 miliar, dengan volume pekerjaan sebesar 180.000 M3 pengadaan agregat.
"Dan saat itu, terdakwa juga mengatakan bahwa pejabat Direktur PT Waskita Karya Cabang Pelembang adalah menantunya yang bernama Haris Nur Muhamad, S.Ip, MM, MBA, yang telah memberikan pekerjaan kepada terdakwa," tambah JPU.
Saat itu, terdakwa menjanjikan jika bekerja sama akan enak dan setiap bulan akan menerima keuntungan 6% yang nantinya dibagi dua dengan dirinya, juga dia akan menanggung atas bunga bank 1,5% dan juga biaya provisi.
"Saksi korban kemudian menanyakan dokumen kontraknya, dan dijawab ada. Kemudian terdakwa bilang akan segera mengirimkannya ke kantor saksi korban di Cirebon, secepatnya," kata JPU.
Selang beberapa hari, berkas kontrak itu dikirimkan ke kantor saksi korban di Cirebon. Dalam berkas itu, tertera nilai kontrak sebesar Rp30 miliar lebih. Dan selanjutnya terdakwa menghubungi saksi korban lagi via telepon, bilang terkait masalah permodalan untuk proyek tersebut yang nilainya antara Rp18 miliar sampai Rp25 miliar.
Kemudian, atas permasalahan permodalan tersebut saksi korban akan dicoba meminjam ke BRI. Setelah diajukan pinjaman ke BRI, pihak bank tak bisa memberikan pinjaman modal sebesar Rp18 miliar sampai Rp25 miliar, karena nilai kontrak Rp30 miliar lebih.
Saksi korban kemudian menghubungi terdakwa terkait itu. Lalu dijelaskan bahwa pihak bank bisa memberikan pinjama modal sebesar Rp18 miliar sampai Rp25 miliar kalau nilai kontraknya di atas Rp60 miliar.
Terdakwa pun menyanggupi. Dan dengan inisiatif sendiri, terdakwa membuat surat perjanjian kontrak nomor 153/SP/WK/X.VI/2018 bertempat di Palembang tertanggal 18 April 2018.
"Terdakwa juga membuat kop surat PT. Waskita Karya sendiri, juga menandatangani sendiri tanda tangan Direktur PT. Waskita Karya Cabang Palembang, yang disebut terdakwa merupakan menantunya itu," ujar JPU.
pinjaman modal di-ACC BRI, sebesar Rp 18.346.000.000. Uang itu kemudian oleh H. Oyo diserahkan kepada terdakwa. Namun sampai akhir pekerjaan selesai (seperti yang tertera pada dokumen kontrak) pada 30 November 2018, BH tidak bisa melunasi pinjaman kepada BRI.
Hingga akhirnya, saksi korban yang harus melunasi utang tersebut, karena saat meminjam menggunakan atas nama perusahaannya. "Saksi korban menderita kerugian sebesar Rp 18,4 miliar lebih. Atas perbuatannya itu, JPU menerapkan Pasal 372 KUHPidana dan Pasal 378 KUHPidana.
Sidang perdana ini hanya sampai pada pembacaan dakwaan. Ketua Majelis Hakim yang memimpin persidangan, H. Sucipto, SH, menunda sidang ini, dan akan dilanjutkan pada Kamis depan, dengan pemeriksaan saksi.
Sementara itu, saat hakim menanyakan apakah pihak terdakwa akan melakukan eksepsi, lewat pengacara, terdakwa mengaku tidak akan melakukan eksepsi, namun terdakwa menyatakan keberatan atas dakwaan itu.
Kuasa Hukum Korban Tetap Minta Terdakwa Ditahan
Sementara itu, dikonfirmasi via telepon terkait persidangan perdana yang sudah berlangsung, Kuasa Hukum Korban Hetta Mahendrati Latumetan, SH, Spsi, mengatakan, bahwa terkait keberatan yang disampaikan terdakwa pihaknya tidak mengetahuinya. Namun ia menegaskan, bahwa kasus tersebut adalah pidana murni penipuan dan bukan kasus perdata.
“Kami tidak paham ya pemikiran terdakwa tentang keberatan tersebut, namun perlu kami tegaskan bahwa ini adalah murni penipuan yang pastinya akan didukung dari pihak kejaksaan dan pengadilan mewujudkan hak kami sebagai korban,” katanya.
"Intinya, apapun hasilnya, apapun yang dilakukan JPU dan hakim, kami selaku pengacara korban, akan mendukungnya," kata Hetta.
Sementara ditanya terkait saksi saksi yang akan dihadirkan pada sidang berikutnya Hetta mengaku siap. Namun saat ini pihaknya belum menerima surat pemberitahuan (pemanggilan saksi) dari jaksa.
Adaoun ketika ditanya terkait kondisi terdakwa yang tidak ditahan (berstatus tahanan kota) ia kembali berharap bahwa pihaknya meminta keadilan yang seadil-adilnya.
“Harapan kami terdakwa ditahan seperti permohonan kami kepada Ketua PN Bandung dengan pertimbangan kekhawatiran terdakwa akan melakukan hal hal tertentu, seperti menghilangkan aset dan barang bukti serta tindakan lain sejenisnya,” imbuh Hetta.
Ia juga menambahkan bahwa permohonan tersebut tidaklah sulit setidaknya dengan ditahannya terdakwa bisa mengakomodir rasa kecewa dari korban. Menurut Hetta, penahanan terdakwa juga sebagai wujud bahwa proses hukum bisa berjalan seadil-adilnya. (***)