Ketua Umum SMSI Firdaus |
Pengesahan RKUHP itu dinilai oleh
Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) terkesan dipaksakan untuk ditetapkan. SMSI yang beranggotakan sekitar 2000
perusahaan pers siber akan menggungat pengesahan KUHP melalui Mahkamah Konstitusi
(MK).
Untuk apa terburu-buru disyahkan, sementara sosialiasi kepada
masayarakat belum maksimal, dan banyaknya masukan dari berbagai elemen
masyarakat, terutama Dewan Pers bersama konstituennya, yang belum terakomodir.
“Ini terkesan dipaksakan, pengesahan RKUHP. SMSI khawatir pasal-pasal
yang ada, masih banyak yang mengancam pelanggaran HAM, Kemerdekaan Pers dan
Demokrasi. Beberapa pasal juga, kami nilai berpotensi mengkriminalisasi karya
jurnalistik dan melanggar kebebasan pers,” ujar Ketua Umum SMSI Firdaus
didampingi Ketua Bidang Hukum, Arbitrase, dan Legislasi Makali Kumar SH dalam
keterangan persnya, Kamis, 8 Desember 2022.
Meski tidak secara detil menyebut
pasal per pasal, SMSI merasa khawatir
dengan masih banyaknya pasal-pasal dalam KUHP yang baru direvisi, bertentangan dengan prinsip dasar hak asasi
manusia, kemerdekaan pers dan
demokrasi.
Di antaranya hak atas kesetaraan di
hadapan hukum dan perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi, hak atas
privasi dan hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan, serta kebebasan
berpendapat dan berekspresi.
“Pada prinsipnya, SMSI mendukung
pembaruan hukum pidana. Namun semangat kodifikasi dan dekolonialisasi dalam UU
KUHP ini, jangan sampai mengandung kriminalisasi dan mereduksi hak-hak
masyarakat, termasuk kebebasan pers,” jelas Firdaus.
SMSI menyayangkan keputusan DPR
bersama pemerintah, yang terkesan memaksakan untuk segera ditetapkan. Para
wakil rakyat dinilai mengabaikan partisipasi dan masukan masyarakat, terutama
komunitas pers.
UU KUHP yang baru saja disahkan,
dianggap tidak melalui pembahasan secara transparan, teliti, dan partisipatif.
Pemerintah dan DPR kurang mengakomodasi
berbagai masukan dan gagasan dari publik. Termasuk dari komunitas Pers.
“Banyak pasal-pasal krusial yang
menjadi ancaman bagi pers dan wartawan. SMSI melalui bidang hukum, sejak awal
mengkritisi RUU KUHP tersebut. Bahkan kami aktif bersama konstituen lain di
Dewan Pers, untuk melakukan berbagai upaya dalam menyikapi RUU KUHP. Supaya,
pasal-pasal yang krusial itu, direvisi, supaya tidak bertentangan dengan HAM
maupun UU Nomor 40 tahun 1999 tentang pers,” tambahnya.
SMSI sepakat untuk terus berjuang
bersama-sama dengan Dewan Pers dan
konstituen lainnya, termasuk elemen masyarakat diluar komunitas pers, dalam
menyikapi pengesahan UU KUHP tersebut, kedepannya. Termasuk mengajukan gugatan
ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Banyak pasal dalam UU KUHP tersebut sungguh
mengancam HAM dan kehidupan berdemokrasi
di Indonesia. Kemerdekaan pers dan kebebasan berekspresi kini menghadapi upaya
pembungkaman.
Pers sebagai pilar demokrasi yang
bekerja untuk memenuhi hak masyarakat atas informasi yang bermakna akan lumpuh
karena berhadapan dengan ancaman kriminalisasi oleh pasal-pasal UU KUHP.
Dalam demokrasi, kemerdekaan pers
harus dijaga, salah satunya dengan memastikan tidak adanya kriminalisasi
terhadap wartawan. Perlindungan itu dibutuhkan agar wartawan dapat bebas
menjalankan tugasnya dalam mengawasi (social control), melakukan kritik,
koreksi, dan memberikan saran-saran terhadap hal- hal yang berkaitan dengan
kepentingan umum untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan.
Kemerdekaan pers terbelenggu karena
UU KUHP itu dapat menjerat wartawan dan perusahaan pers sebagai pelaku tindak
pidana ketika menjalankan tugas jurnalistik.
Dewan Pers sendiri, sebagai lembaga independen sebelumnya telah
menyusun Daftar Inventaris Masalah (DIM) RKUHP terhadap pasal-pasal krusial
yang menjadi ancaman terhadap pers dan wartawan.
Dewan Pers juga menyarankan
reformulasi 11 cluster dan 17 pasal dalam RKUHP yang berpotensi mengancam
kemerdekaan pers, sebagai upaya mencegah kriminalisasi. Namun masukan yang
telah diserahkan ke pemerintah dan DPR tidak memperoleh feedback. Padahal,
Dewan Pers juga menyampaikan saran agar dilakukan simulasi kasus atas norma
yang akan dirumuskan.
Ketentuan-ketentuan pidana pers
dalam KUHP, mencederai regulasi yang sudah diatur dalam UU No 40 Tahun 1999
tentang Pers. Padahal unsur penting berdemokrasi adalah dengan adanya
kemerdekaan berekspresi, kemerdekaan berpendapat, serta kemerdekaan pers.
Dalam kehidupan yang demokratis,
kemerdekaan menyampaikan pikiran dan pendapat sesuai dengan hati nurani dan hak
memperoleh informasi, merupakan hak asasi manusia hakiki.
“Seperti pasal 263 dan 264 RKUHP
yang sudah disahkan. Didalamnya ada kata
penyiaran dan berita. Frasa ini akan berpotensi menghambat kemerdekaan pers.
SMSI dari awal, minta untuk dihapus atau
dihilangkan dalam RKUHP, karena hal itu sudah diatur dalam UU no 40 tahun
tentang pers,” tegas Firdaus.
SMSI mencatat pasal-pasal UU KUHP
yang berpotensi mengkriminalisasi wartawan dan mengancam kemerdekaan pers,
kemerdekaan berpendapat, dan berekspresi, sebagai berikut:
1. Pengembangan ajaran
Komunisme/Marxisme-Leninisme
- Pasal 188 yang mengatur tentang
tindak pidana penyebaran atau pengembangan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme.
- Pasal 218, Pasal 219, dan Pasal 220
yang mengatur tindak pidana penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat
Presiden dan Wakil Presiden.
- Pasal 240 dan Pasal 241 yang
mengatur tindak pidana penghinaan terhadap pemerintah dan lembaga negara
dihukum tiga tahun.
- Pasal 263 yang mengatur tindak
pidana penyiaran atau penyebarluasan berita atau pemberitahuan bohong.
- Pasal 280 yang mengatur tentang
Gangguan dan penyesatan proses peradilan.
- Pasal 300, Pasal 301, dan Pasal 302
yang memuat tentang tindak pidana terhadap agama dan kepercayaan.
- Pasal 436 yang mengatur tindak
pidana penghinaan ringan.
- Pasal 433 mengatur tindak pidana
pencemaran.
- Pasal 439 mengatur tindak pidana
pencemaran orang mati.
- Pasal 594 dan Pasal 595 mengatur
tindak pidana penerbitan dan pencetakan. (*).