Klik
BANDUNG, faktabandungraya.com,- Ketua Komite SMAN 9 Bandung, Rusdoyo Punsu berpendapat komentar miring yang dialamatkan kepadanya yang diindikasi melakukan pungli, malah membuka mata masyarakat, bahwa memang biaya pendidikan masih membutuhkan bantuan dari masyarakat.
Hal itu diungkapkan menanggapi komentar dan pernyataan yang disampaikan oleh Ketua Forum Orang Tua Siswa (Fortusis) yang meminta Tim Saber Pungli untuk menghentikan tindakan yang dilakukan Komite SMAN 9 Bandung meminta sumbangan terhadap orangtua siswa.
Menurut Rusdoyo, pendapat yang disampaikan oleh pihak luar itu dimaklumi karena tidak mengetahui persoalan yang ada di setiap sekolah, khususnya di SMAN 9 Bandung, tegas Rusdoyo saat ditemui di SMAN 9 Bandung, Kamis (2/2/2023).
Bahkan, Rusdoyo meyakini, pihak-pihak yang berbicara tersebut tidak lagi memiliki anak yang sedang menimba ilmu dan pendidikan di tingkat SMA/SMK.
Atas komentar dan pendapat yang disampaikan, menjadi pemberitaan di media massa dengan judul 'Indikasi Pungutan Liar di SMA 9 Bandung'. Rusdoyo menjelaskan, komite sekolah memiliki sejumlah tugas dan kewajiban berdasarkan Permendikbud No. 75 Tahun 2016 Komite Sekolah.
Salah satu butir tugas dan kewajiban komite sekolah yakni, menggalang dana masyarakat dalam rangka pembiayaan penyelenggaraan pendidikan di sekolah.
Terkait adanya nominal Rp 300 ribu, sumbangan yang akan dibebankan orangtua siswa, Rusdoyo menegaskan bahwa angka itu adalah hasil formulasi ideal atau besaran ideal berdasarkan perhitungan rencana biaya dan pendanaan program atau kegiatan untuk 1 (satu) tahun anggaran yang telah dibahas dalam RKAS tahun 2022-2023.
"Jadi begini, kalau saya bicara itu masih dalam bentuk draft sebetulnya, bicaranya interen antara komite sekolah dengan koordinator kelas, kenapa itu muncul berbentuk tulisan, karena harapan dari orangtua itu ada gambaran ideal," ujar Rusdoyo.
Gambaran ideal agar supaya semua kegiatan pendidikan di sekolah itu, makanya saya berikan gambarannya.
"Saya sebagai orangtua siswa yang memiliki anak di kelas 11 IPA 1, saya beri gambaran kalau itu terjadi dengan kekurangan angka senilai Rp 3,6 Miliar, saya hitung dengan jumlah siswa di sini 1.147 (peserta didik) dan saya asumsikan, 147 adalah warga tidak mampu atau 20 persen, jadi tinggal 1.000 orang," katanya.
"Dari Rp 3,6 Miliar dibagi 1.000 orang, asumsi saya sebagai orangtua 3,6 miliar dibagi seribu hasilnya menjadi Rp 3,6 juta. Nominal ini untuk RAK (Rencana Anggaran Kegiatan) selama setahun, saya bagi lagi menjadi 12 bulan maka muncullah angka Rp 300 ribu," jelasnya.
"Jadi Rp 300 ribu itu adalah gambaran ideal kalau semuanya seribu orang ini nyumbang jika semuanya sepakat dianggap mampu, maka ini akan tertutupi semuanya. Tapi kan saya bilang bahwa Rp 300 ribu pribadi saya menghitung kemampuan saya. Kalau ada yang mempunyai kemampuan lebih, masa sih Rp 300 ribu dianggap sama, maka dijadikanlah minimal jumlah sumbangan," ungkapnya.
Bagi yang kurang mampu, lanjut Rusdoyo, nominal Rp 300 ribu itu menjadi jumlah maksimal. "Yang kurang mampu ya yang saya bilang, jadikanlah itu maksimal, boleh dong Rp 50 ribu, boleh dong Rp 20 ribu, boleh dong sampai Rp 300 ribu," ucapnya.
Rusdoyo juga menyebut, sumbangan ini tidak harus berbentuk uang. Bisa saja berbentuk yang lain, apakah itu jasa menunjukan pada makna tempat bagi komite sekolah untuk mendapatkan dana itu. "Apakah itu perusahaan, atau instansi, ataupun lembaga. Termasuk ke alumni," imbuhnya.
Dirinya juga secara tegas menyampaikan dan seperti yang tertulis dalam (draft) surat No 003/SMAN9Bdg/I/2023. Untuk orangtua siswa yang tidak mampu tidak termasuk dalam poin yang dimintai sumbangan. Jadi dalam butir surat hanya menyebut gambaran sumbangan dari orangtua siswa yang mampu dan kurang mampu.
Rusdoyo mengakui, dengan diterbitkannya surat yang masih dalam bentuk draft tersebut (belum menjadi keputusan akhir), akan memunculkan polemik. Surat dibuat setelah Komite Sekolah rapat lanjutan dengan koordinator kelas.
"Mereka meminta surat, saya bilang surat ini akan berakibat fatal nanti kalau ada apa-apa, nggak pak kami bertanggung jawab, oke saya buatkan. Saya buat kalimatnya adalah gambaran ideal nya. Nah, kata gambaran ideal inilah yang dipotong. Sehingga kalimatnya jadi minimal Rp 300 ribu untuk yang mampu, dan maksimal bagi yamg kurang mampu," sesalnya.
Tidak ingin polemik ini semakin melebar, secara tertulis pada tanggal 28 Januari, Komite Sekolah SMAN 9 Bandung telah menarik surat tersebut.
Kembali ke persoalan biaya pendidikan sekolah, dirinya mengatakan memang biaya pendidikan mendapatkan bantuan dari BOS dari pemerintah pusat dan BOPD dari pemerintah Jawa Barat. Jika kedua bantuan ini dijumlahkan, untuk sekolah yang besar hanya Rp 292 ribu/siswa/tahun.
Sementara, lanjut Rusdoyo, kajian dari teman-teman Dewan Pendidikan, di tahun 2021 untuk SMA itu di angka Rp 765 ribu/bulan. Berarti masih ada selisih. "Selisih inilah yang membuat disuruh komite mencari duit tetapi dipegang kakinya. Kepala dilepas kaki dipegang," tuturnya.
BOS dan BOPD adalah subsidi pemerintah pada pendidikan, jika dianalogikan subsidi, ini berarti masih ada biaya pendidikan yang menjadi tanggungjawab masyarakat atau orang tua.
Seperti subsidi BBM, harga BBM pertalite yg bersubsidi, dimana rakyat/masyarakat tetap harus membayar sebesar 10 ribu dari harga yg sudah disubsidi pemerintah.
Untuk meyakinkan orangtua siswa bahwa untuk memenuhi penyelenggaraan pendidikan di sekolah masih membutuhkan bantuan dari masyarakat.
"Kondisi di SMAN 9 Bandung, sudah 4 bulan guru honorer belum bisa dibayar, kemudian kemarin listrik hampir dicabut. Bila perlu ketika pertemuan dengan orangtua siswa nanti kita tunjukkan di sekolah ini sudah ada pembangunan apa saja sebelum anaknya masuk dan setelah anaknya masuk. Jadi apa yang tertera di RKAS akan kita sampaikan," terangnya.
"Masyarakat harus memahami, bahwa biaya pendidikan itu jauh masih kurang. Jangamlah dijadikan komoditi politik untuk kepentingan seseorang atau sekelompok orang, bahwa (biaya) pendidikan ini sudah cukup dengan BOPD dan BOS," tuturnya.
Perlu diketahui juga oleh masyarakat dan orang tua siswa, bahwa BOS itu pencairannya selalu tidak tepat waktu.
Misal BOS kwartal 1 (januari-februari-maret-april, idealnya cair di awal bulan mei, namun faktanya bisa cair di bulan juni) begitu juga dengan dana BOPD bisa terlambat pencairannya, sehingga dengan kondisi ini sekolah mengalami kesulitan dalam melaksanakan aktifitas sekolah dan ini menjadi tugas komite dalam mengupayakan adanya dana talang ini, jelasnya.
"Jika keuangan komite tidak ada karena hanya mengandalkan sumbangan orang tua, yang tidak bisa diperkirakan berapa sumbangan yang didapat, maka aliran kas (cash flow) keuangan sekolah terganggu yang itu berarti juga terganggunya kegiatan belajar mengajar di sekolah," tambah Rusdoyo.
"Jadi perang sebetulnya adalah antara orangtua yang masih punya anak di sekolah yang memerlukan prestasi anaknya di sekolah dengan orang luar yang sudah tidak memiliki anak di sekolah (SMA) yang menginginkan, mungkin ya bahasa saya, biar anak saya menjadi bodoh dan sementara anak mereka boleh berprestasi, kan begitu akhirnya," ungkapnya.
Intinya, dirinya menyambut baik dengan pemberitaan dan kejadian ini dan menganggap saatnya masyarakat terbuka. "Stop membohongi masyarakat, saya yakin semua memiliki kepentingan untuk perbaikan dunia pendidikan," pungkasnya. (Cuy)