Oleh : Hendra J KedeHendra J Kede
Ketua
Dewan Pengawas YLBH Catur Bhakti / Wakil Ketua Komisi Informasi Pusat RI
(2017-2021/2022)
TULISAN ini tidak membahas konten
usulan Dewan Pers mengenai Rancangan Peraturan Presiden (Rancangan Perpes)
tentang Media Sustainability yang forum pembahasannya atas fasilitasi
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) yang beberapa waktu lalu
sempat begitu gaduh diawal acara sehingga harus dihentikan, bahkan sebelum
acara inti dimulai, dan dijadwal ulang.
Kenapa begitu? Bagi penulis, jika ada
sebuah forum pembahasan rancangan sebuah peraturan perundang-undangan sampai
harus diakhiri sebelum dimulai karena kerasnya perdebatan tentang sebuah
materi, maka materinya itu belum layak disebut Rancangan Perpres, masih jauh
dari layak untuk masuk tahap selanjutnya yaitu tahap harmomisasi sebelum
diajukan kepada dan untuk ditandatangani Presiden.
Hal ini berkaca dari pengalaman
penulis sebagai Koordinator Tim Perumus Peraturan Komisi Informasi Pusat
tentang Standar Layanan Informasi Publik (SLIP) yang setelah diundangkan
disebut Peraturan Komisi Informasi (Perki) Nomor 1 Tahun 2021 tentang SLIP.
Sebuah rancangan peraturan
perundang-undangan dibawah Undang Undang haruslah sudah melalui proses panjang,
termasuk telah melalui proses uji publik yang kuat, sehingga tidak ada lagi
pertentangan tajam diantara pihak yang berkepentingan sebelum memasuki tahapan
harmonisasi yang dikoordinasikan oleh tim Kemenkumham RI, untuk selanjutnya
diundanhkan dan dicatatkan dalam Lembaran Negara setelah ditandatangani Presiden.
Perpres
Media Sustainability Beresiko Bagi Presiden?
Sepanjang pengetahuan penulis, Undang
Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers) tidak pernah memiliki
peraturan turunan sebagaimana urutan
peraturan perundang undangan yang diundangkan dan tercatat dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang Undangan sebagaimana telah diubah
beberapa kali dan terakhir melalui UU Nomor 13 Tahun 2022 mengatur urutan
peraturan perundang undangan yaitu Undang Undang Dasar Negara Republik
Indonesia (UUD NRI) 1945, Ketetapan MPR, Undang Undang, Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perpu), Peraturan Pemerintah (PP),
Peraturan Presiden (Perpres), dan Peraturan Daerah (Perda).
Semenjak
diundangkannya UU Pers, tidak pernah ada sekalipun pemerintah mengeluarkan
peraturan pelaksanaannya berupa PP apalagi Perpres dan juga tidak pernah
sekalipun Peraturan Dewan Pers mengikuti proses harmonisasi di bawah koordinasi
Kemenkumham apalagi diundangkan sehingga tercatat dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Bahkan ada kesan selama ini, sepanjang
pengetahuan penulis, kalau pemerintah menerbitkan peraturan pelaksanaan UU Pers
dipandang dan dicurigai oleh komunitas pers sebagai bentuk intervensi
pemerintah terhadap kebebasan pers.
Lantas tiba-tiba saja muncul sebuah
dorongan kuat kepada Presiden untuk menerbitkan Peraturan Presiden sebagai
pelaksanaan dari UU Pers. Whaaattt gitu lho?
Jangan lupa, Peraturan Presiden itu
diterbitkan sebagai pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah, sebagai aturan
lebih operasional dari Peraturan Pemerintah, sebagai pelaksanaan perintah dari
Peraturan Pemerintah.
Beranjak dari situ, muncul pertanyaan,
lantas Rancangan Peraturan Presiden Tentang Media Sustainability itu sebagai
pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah yang mana?
Kalaupun mau ditarik ke peraturan yang
lebih tinggi, rancangan Perpres tentang Media Sustainability itu sebagai aturan
operasional dari pasal berapa dalam UU Pers?
Faktanya, tidak ada Peraturan
Pemerintah yang menjadi dasar penerbitan Perpres tentang Media Sustainability,
itu sudah pasti. Dan sudah pasti juga tidak ada satu pasalpun dalam UU Pers
yang dengan jelas memerintahkan Presiden menerbitkan Perpres untuk hal apapun
dalam rangka melaksanakan UU Pers, apalagi Perpres khusus tentang Media
Sustainability sebagai tindak lanjut dari salah satu pasal jelas dalam UU Pers
tersebut.
Hanya ada dua alasan sebuah peraturan
dibawah undang undang diterbitkan. Pertama karena ada delegasi jelas dari
peraturan yang lebih tinggi (PP). Ada pasal dalam peraturan yang lebih tinggi
yang memerintahkan itu. Dan yang kedua karena atribusi dari lembaga yang
mengeluarkan, dalam hal ini Lembaga Kepresidenan.
Pertanyaannya adalah apakah Presiden
akan menggunakan kewenangan atribusi menerbitkan Perpres tentang Media
Sustainability? Kalau memang karena kewenangan atribusi, kenapa selama selama
24 tahun berlakunya UU Pers berlaku tidak pernah ada Peraturan Pemerintah (PP)
dan atau Peraturan Presiden yang diterbitkan?
Bahkan, selama 24 (dua puluh empat)
tahun umur UU Pers, bukankah penerbitan peraturan apapun oleh pemerintah
terkait pers terasa dipandang dan dicurigai sebagai intervensi pemerintah
terhadap kebebasan pers?
Selama 24 tahun ini seolah hanya Dewan
Pers yang boleh dan dapat menerbitkan peraturan apapun tentang pers sebagai
tindak lanjut UU Pers, bukan pemerintah melalui PP apalagi Presiden melalui
Perpres yang merupakan 2 (dua) instrumen peraturan perundang undangan sebagai pelaksanaan
sebuah Undang Undang.
Bahkan fakta yang lebih mencengangkan,
Peraturan Dewan Pers itupun tidak pernah diundangkan sehingga tidak ada satupun
Peraturan Dewan Pers yang diundangkan dan tercatat dalam Lembaran Negara sampai
saat ini.
Sebuah tindakan yang sangat keliru
dari Dewan Pers yang berakibat buruk bagi keberlakuan sebuah peraturan
pelaksanaan dari UU pers karena tanpa diundangkan sebuah Peraturan Dewan Pers
dipandang hanya diketahui internal Dewan Pers saja dan seluruh orang dan badan
di luar Dewan Pers dapat mendalilkan tidak tahu adanya peraturan tersebut.
Melihat situasi debat keras saat
pertemuan para pihak yang difasilitasi Kemenkominfo beberapa waktu lalu terkait
rencana penerbitan Perpres tentang Media Sustainability yang bahkan harus
distop sebelum acara dimulai, menunjukan betapa masih sangat kerasnya perbedaan
pandangan di kalangan komunitas pers tentang Perpres Media Sustainability ini.
Baik dari sudut pandang substansi isi Perpres maupun tentang pilihan instrumen
Perpres itu sendiri, kenapa bukan Perpu misalnya.
Jika dipaksakan diterbitkan, tentu
sudah pasti pihak pertama yang menjadi sasaran empuk kritik tajam adalah
Presiden. Padahal kita semua tahu bahwa Presiden memiliki pandangan demokratis
dan menghormati nilai nilai kebebasan pers.
Beranjak dari fakta-fakta tersebut,
penulis lebih merekomendasikan kepada Presiden Bapak Joko Widodo untuk tidak
menempuh jalur Peraturan Presiden untuk menjawab dinamika perkembangan pers
sebagaimana yang dimuat dalam Rancangan Perpres yang diusulkan Dewan Pers
kepada Kemenkominfo untuk diproses penerbitannya.
Hal ini sebagaimana pernah penulis
sampaikan secara langsung dalam forum pertemuan antara Dewan Pers, Konstituen
Dewan Pers, dan Mensesneg beberapa waktu lalu.
Perpu
Pers Lebih Aman Bagi Presiden.
Namun demikian bukan berarti negara
membiarkan saja persoalan yang dihadapi oleh dunia pers terkait perkembangan
dunia pers global karena perkembangan teknologi informasi yang pada beberapa
hal memberikan dampak negatif bagi perkembangan pers nasional.
Menurut hemat penulis, kondisi dan
tantangan yang dihadapi pers nasional saat ini, baik dari sisi bisnis maupun
redaksi, sudah sampai pada level terpenuhinya keadaan genting dan memaksa
sebagaimana diamanahkan UUD NRI 1945 tentang penerbitan Perpu. Hal ini sebagai
akibat tidak mamadainya lagi UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers untuk menjawab
dan menanggulangi tantangan pers nasional, terutama dalam menghadapi apa yang
disebut predator pers global. Negara harus hadir untuk memberikan jelan keluar
yang elegan.
UU Pers ini sudah berumur 24 tahun.
Lahir saat awal reformasi, sebelum amandemen UUD 1945, saat telpon seluler masih hanya dimiliki
segelintir kalangan elit dan telpon lintas provinsi masih roaming, saat SMS
belum dikenal apalagi internet.
Google masih di alam rahim teknologi
informasi. Predator pers jangankan dikenal, mendengar sajapun belum saat itu.
Membandingkan kondisi saat itu, tahun
1999 saat UU Pers lahir, dengan saat ini, tahun 2023, akan membawa pada
kesimpulan adanya suatu keadaan dimana terjadi situasi keadaan genting
dan memaksa sehingga sangat layak jika Presiden menerbitkan Perpu tentang Pers.
Menerbitkan Perpu ini jelas tidak ada
atau setidak-tidaknya memiliki resiko paling kecil bagi Presiden. Berbeda
dengan menerbitkan Peraturan Presiden, akan melahirkan dinamika berkepanjangan
yang tak akan berkesudahan. Perpu berpotensi besar akan dipandang sebagai
solusi, sementara Perpres berpotensi besar akan dipandang sebagai intervensi.
Konstitusi memberikan kewenangan penuh
kepada Presiden untuk menilai keadaan genting dan memaksa sesuai subjektifitas
Presiden. Kemudian berdasarkan penilaian itu Presiden menerbitkan Perpu.
Apalagi ada alasan dan kondisi objektif yang sagat kuat terkait kondisi pers
nasional. Bukti adanya kondisi objektif yang kuat itu salah satunya dibuktikan
dengan fakta bahwa Dewan Pers mengajukan permohonan kepada Presiden untuk
menerbitkan Perpres Media Sustainability.
Satu pertimbanhan lagi, Perpu
memerlukan persetujuan DPR sehingga jika kemudian berlaku sebagai UU, tidak
saja memiliki resiko rendah kepada Presiden, namun juga memberikan pondasi kuat
secara hukum bagi pers nasional menghadapi tantangan skala nasional dan global
kedepan karena legalitasnya setingkat UU dan mendapat persetujuan dan
legitimasi dari rakyat melalui wakilnya di DPR.
Materi
Perpu Pers
Terkait materi Perpu tentang Pers,
Presiden dapat mengeluarkan amanat kepada Menkopolhukam atau Menkominfo untuk
menyusun materi Perpu dimaksud bersama-sama dengan kalangan pers nasional.
Materi Perpu disusun bersama-sama
dengan Dewan Pers, seluruh Konstituen Dewan Pers baik dari organisasi wartawan
maupun organisasi perusahaan pers, perguruan tinggi, Forum Pemred, dan lebih
khusus dengan tokoh tokoh pers yang punya reputasi dalam kapasitas pribadi, serta
pihak-pihak terkait lainnya.
Bahkan Presiden dapat mengamanatkan
bahwa Perpu hanya akan diterbitkan jika Dewan Pers dan seluruh Konstituen Dewan
Pers, tanpa kecuali, menyetujui isinya, bahkan kalau perlu persetujuan itu
harus diwujudkan dalam surat resmi pimpinan pusat Konstituen Dewan Pers. Tanpa
itu Presiden tidak akan menerbitkan Perpu.
Setelah semua kajian dilakukan dan
mendapat persetujuan dari, setidaknya, Dewan Per dan seluruh konstituen Dewan
Pers, barulah Presiden menerbitkan Perpu Pers tentang Perubahan UU Nomor 40
Tahun 1999 tentang Pers, atau kapan perlu sebagai Pengganti UU Nomor 40 Tahun
1999 tentang Pers.
Kita tunggu bersama langkah bijaksana
yang akan diambil Presiden. Semoga tulisan ini bermanfaat. (*).