Pimpinan dan anggota KomisiV DPRD Jabar saat menerima audensi IDI dan 4 organisasi Profesi Kesehatan Jabar (foto:hms). |
Audiensi tersebut diterima oleh Ketua
Komisi V DPRD Jawa Barat Dr. H. Abdul Harris Bobihoe beserta Anggota Komisi V diantaranya;
Drs.H. Yod Mintaraga, MPA, Ali Rasyid,M.Sos dan H. Enjang Tedi, M.Sos di ruang
Komisi V DPRD Jawa Barat, Bandung, Rabu (31/5/2023).
Abdul Harris Bobihoe menuturkan,
audiensi dengan IDI Provinsi Jabar dan 4 organisasi profesi kesehatan lainnya
terkait permintaan penangguhan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law
Kesehatan. Alasan penangguhan, karena mereka menilai proses penyusunan RUU
Omnibus Law Kesehatan terburu-buru, tidak melibatkan organisasi profesi
kesehatan salah satunya IDI, dan banyak pasal yang justru akan merugikan
penerima kesehatan yakni, masyarakat.
“Kami menerima audiensi dari IDI Provinsi
Jabar dan organisasi profesi kesehatan lainnya. Mereka menginginkan pembahasan
RUU Omnibus Law Kesehatan dihentikan, ditangguhkan karena dari mulai proses
hingga substansi pasal (beberapa pasal) berdampak negatif, merugikan
masyarakat, dan dianggap meresahkan bagi organisasi profesi kesehatan (IDI dan
sebagainya),” tutur Abdul Harris Bobihoe, Bandung, Rabu (31/5/2023).
Setelah audiensi ini, Komisi V DPRD
Jawa Barat bakal segera menindaklanjuti aspirasi tersebut dengan
menyampaikannya langsung ke pemerintah pusat, melalui DPR RI khususnya komisi
terkait dan melalui fraksi-fraksi yang ada di Dewan Perwakilan Rakyat RI
mengingat pembahasan RUU Omnibus Law Kesehatan merupakan kewenangan pusat bukan
daerah.
“RUU Omnibus Law ini dibahas di DPR
RI, jadi bukan kewenangan kami (DPRD Jawa Barat), tapi kami bisa menyampaikan
aspirasi dari rekan-rekan IDI Provinsi Jabar dan organisasi profesi kesehatan
lainnya untuk disampaikan ke DPR RI, dan kami sebagai wakil rakyat tentu punya
kewajiban untuk menyampaikan aspirasi ini,” katanya.
Diharapkan, setelah nanti disampaikan
kepada DPR RI, pembahasan RUU Omnibus Law Kesehatan bisa ditangguhkan, dan
semua organisasi profesi kesehatan bisa dilibatkan dalam proses pembahasan.
Sehingga substansi pasal per pasal tidak menimbulkan keresahan seperti saat
ini. Hal ini sebagaimana permintaan IDI Provinsi Jabar dan organisasi profesi
kesehatan lainnya.
Sementara itu, Ketua IDI Provinsi Jabar Dr Eka Mulyana mengatakan, permintaan penangguhan pembahasan RUU Omnibus Law Kesehatan bukan hanya aspirasi dari IDI dan organisasi profesi kesehatan lainnya di Jabar, tetapi di semua daerah di Indonesia.
“Kenapa kami ke Komisi V DPRD Jawa
Barat, karena kami sangat berharap aspirasi ini bisa diteruskan ke pemerintah
pusat, baik itu eksekutif, legislatif hingga Presiden RI,” katanya.Pimpinan dan anggota Komisi V foto bersama dengan IDI dan
4 organisasi Profesi Kesehatan Jabar (foto:hms).
Terkait alasan penangguhan pembahasan
RUU Omnibus Law Kesehatan jelas Dr Eka Mulyana, pihaknya menilai sejak awal
proses pembahasannya, hingga substansi pasal dari RUU Omnibus Law dinilai
bermasalah.
RUU Omnibus Law terdiri dari 20 bab
dan 478 pasal terdapat pasal yang dinilai merugikan masyarakat, dan meresahkan
bagi tenaga kesehatan. Salah satunya soal aborsi, dalam draf RUU Omnibus Law
Kesehatan disebutkan aborsi bisa dilakukan sampai 14 minggu. Sebelumnya, aborsi
dilakukan sampai 6 minggu dengan alasan janin belum lengkap terbentuk, sehingga
aborsi masih bisa dilakukan.
“Tapi RUU Omnibus Law Kesehatan 14
minggu (kondisi janin sudah lengkap). Hal itulah yang salah satu kami kritisi.
Jangan sampai RUU Kesehatan ini disahkan di awal Juli karena akan banyak
merugikan masyarakat,” keluhnya.
“Kami mendorong pembahasan RUU
Kesehatan ini ditangguhkan, dan kami berharap dalam pembahasan nanti melibatkan
kami karena banyak pasal-pasal yang krusial yang perlu dibahas kembali,”
sambungnya.
Penangguhan pembahasan RUU Omnibus Law
ini tambah dia, bukan untuk kepentingan organisasi profesi kesehatan dan
terkait, tetapi demi kepentingan masyarakat sebagai penerima kesehatan. (*/red).