Oleh : Daddy Rohanady (Anggota DPRD Provinsi Jabar).
Anggota DPRD Jabar Drs.H. Daddy Rohanady dari Fraksi Gerindra |
Pada tahun itu masyarakat Jabar
diharapkan berkontribusi secara lebih besar lagi terhadap NKRI. Pada tahun itu
jumlah penduduk Jabar diperkirakan sudah lebih dari 60 juta jiwa. Dengan jumlah
sebanyak itu, Jabar diharapkan berkontribusi secara lebih positif dalam
berbagai segi untuk turut serta memajukan bangsa Indonesia.
Pertanyaannya, apakah Jabar hanya akan
mengandalkan keunggulan demografis? Tentu bukan itu yang diharapkan. Jabar telah
melahirkan banyak tokoh yang berkiprah di kancah nasional maupun internasional.
Para tokoh tersebut secara nyata telah turut mengharumkan NKRI sesuai dengan
bidangnya masing-mnasing. Tentu saja kondisi tersebut diharapkan terus berjalan
hingga Tahun Emas NKRI pada 2045.
Untuk mewujudkan keinginan mulia
tersebut pasti bukan pekerjaan mudah. Dibutuhkan generasi muda yang siap
menghadapinya. Para generasi muda itu diharapkan sudah mempersiapkan diri
secara matang. Artinya, mereka harus mempersiapkan diri menghadapi segala
tantangan zamannya.
Generasi muda Jabar saat ini harus
menyongsong Tahun Indonesia Emas dengan bekal yang memadai. Mereka sangat amat
tidak cukup jika hanya mengandalkan keunggulan demografis semata. Jadi, mereka
harus menjadi generasi yang mumpuni sesuai dengan bidang yang mereka minati.
Generasi penerus Jabar memang harus
dipersiapkan sejak dini. Mereka harus menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi
(iptek) sesuai tuntutan zaman yang --suka tidak suka dan mau tidak mau—akan
mereka hadapi. Namun, mereka juga harus dibekali iman dan takwa (imtak) agar
tidak keluar dari norma-norma yang ada.
Memang masih banyak pekerjaan rumah
(PR) yang harus dibenahi. Beberapa masalah harus menjadi agenda pembangunan
Jabar ke depan, semisal Indeks pembangunan Manusia (IPM). IPM memang menjadi
salah satu tolok ukur yang lagi-lagi --suka tidak suka dan mau-tidak mau—harus
menjadi target pembangunan Jabar. IPM Jabar hingga akhir 2022 masih berada di
peringkat ke-10 secara nasional. Itu berarti masih banyak PR yang harus
dikerjakan, apakah itu terkait dengan pendidikan, kesehatan, laju pertumbuhan
ekonomi, maupun bidang-bidang lainnya.
Masih banyak PR lain yang tidak kalah
penting untuk diselesaikan oleh siapun gubernurnya, juga jajarannya, dan
termasuk para anggota dewannya. Misalnya, terkait nilai tukar petani (NTP) dan
tingkat pengangguran terbuka (TPT). Mengapa demikian? Ketiga tolok ukur
tersebut sangat berpengaruh pada persentase penduduk miskin Jabar.
Hingga akhir tahun 2022, misalnya, NTP
Provinsi Jabar adalah 99,75 persen. Artinya, menjadi petani di Jabar belum
menjadi pilihan yang menjanjikan untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga
secara ekonomis. Kehidupan petani di Jabar belum sebaik yang diharapkan oleh
banyak dari mereka yang menjatuhkan pilihan profesinya dengan menggarap sawah.
Padahal, mereka telah berkontribusi pada ketersediaan dan kecukupan pangan
kita.
Demikian pula dengan TPT. Meskipun
sudah tereduksi sebesar 1,51 persen, hingga akhir 2022 TPT Provinsi Jabar masih
8,31 persen. Dengan kondisi seperti itu, masih ada sedikitnya 4 juta masyarakat
Jabar yang menjadi pengangguran terbuka. Bisa dipastikan mayoritas dari para
pengangguran itu adalah mereka yang berada di usia produktif. Artinya, sekian
banyak potensi yang tidak tersalurkan. Padahal, bisa jadi dari tangan dan
pemikiran mereka akan lahir berbagai karya yang dapat membanggakan –baik untuk
Jabar pada khususnya maupun nasional pada umumnya.
TPT dan NTP sangat berpengaruh pada
besaran persentase penduduk miskin. Hingga akhir tahun 2022 persentase penduduk
miskin Jabar adalah 7,98 persen. Padahal, pada tahun 2022 Jabar menjadi
penyerap penanaman modal asing (PMA) terbesar secara nasional. Dari total PMA
yang diserap Indonesia pada tahun 2022 yang mencapai Rp 826 triliun, Jabar
menyerap PMA sebesar Rp 175 triliun. Serapan PMA sebesar itu semestinya mampu
mereduksi TPT dengan menyediakan berjuta lapangan kerja. Besar kemungkinan PMA
yang masuk ke Jabar adalah penanaman modal yang padat modal, bukan padt karya.
Ketidaksinkronan itu menunjukkan bahwa masih ada yang kurang sinkron dengan
kondisi eksisting.
Dengan jumlah penduduk terbanyak
secara nasional, ada salah satu klausul menarik dalam Perda Nomor 9 Tahun 2022
Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Barat. Perda tersebut
mencantumkan kawasan pertanian pangan berkelanjutan (KP2B) seluas 735.320
hektare. Luas tersebut diperhitungkan hasilnya melebihi kebutuhan pangan
(beras) penduduk Jabar.
Hal ini bukan tanpa alasan. Fakta
empiris di lapangan menunjukkan bahwa hingga akhir tahun 2022 Jabar masih
menjadi lumbung padi nasional. Betapa tidak, Kabupaten Indramayu, Kabupaten
Karawang, dan Kabupaten Subang merupakan tiga kabupaten penghasil padi terbesar
secara nasional. Artinya, Jabar merupakan provinsi yang berkontribusi pada
ketersediaan dan kecukupan pangan secara nasional.
Dengan kondisi Jabar yang strategis
membuat setiap langkah pembangunan pun menjadi sangat kompleks. Oleh karena
itu, setiap kebijakan yang diambil haruslah dengan pertimbangan yang
komprehensif. Pada praktiknya, bukan hanya kepentingan Jabar yang mesti dicapai,
kepentingan nasional pun mesti tetap diperhatikan. Memang semua pembangunan
pasti ada plus-minusnya. Salah satunya, alih fungsi lahan. Alih fungsi lahan
termasuk hal yang tidak mungkin dapat dihindari. Yang paling utama adalah
apakah alih fungsi lahan itu menjadi lebih produktif atau sebaliknya. Apakah
alih fungsi lahan terjadi pada lahan-lahan sawah beririgasi teknis, misalnya,
atau pada lahan-lahan kritis yang dijadikan bagian dari lahan pertanian baru.
Pembangunan infrastruktur kerap kali
dianggap berdampak negatif. Hal itu mungkin ada benarnya, tetapi tidak seratus
persen. Benar jika hanya melihat sisi bahwa pembangunan tersebut menggerus
lahan produktif tanpa menghasilkan sesuatu yang nilainya atau kepentingannya
jauh lebih besar. Di sini masalahnya. Kita kerap berdebat soal manfaat
tersebut. Oleh karena itu, sekali lagi, setiap kebijakan yang berkaitan dengan
pembangunan semestinya dilandasi pertimbangan yang benar-benar matang.
Infrastuktur Jabar sebenarnya
terbilang cukup lengkap. Betapa tidak, Jabar memiliki banyak ruas jalan tol
yang melingkari wilayahnya. Jaringan jalan tol yang ada hampir menghubungkan
seluruh wilayah Jabar. Memang masih ada beberapa bagian yang tersisa. Misalnya
menyambungkan sebagian sisi selatan bagian barat dan sisi timur bagian selatan
ke arah Kota Bandung. Intinya, masih dibutuhkan penyambung sisi tengah-selatan
Jabar.
Terkait pembangunan infrastruktur,
banyak pihak masih mempersoalkan ketimpangan pembangunan Jabar Utara dan jabar
Selatan. Sebenarnya sudah ada salah satu solusi tentang hal itu. Presiden
Republik Indonesia Joko Widodo (Jokowi) telah menandatangani Peraturan Presiden
(Perpres) Nomor 87 Tahun 2021 mengenai Percepatan Pembangunan Kawasan Rebana
dan Kawasan Jawa Barat Bagian Selatan pada tanggal 9 September 2021. Di dalam
lampiran Perpres ini terdapat sejumlah program dan proyek untuk pembangunan
Provinsi Jawa Barat, baik di wilayah utara maupun di wilayah selatan. Mungkin
ada hal yang spesifik dalam Perpres tersebut, yakni pengembangan Wilayah
Segitiga Rebana.
Selain pembangunan jalan tol, ada
masalah Jabar terkait jalan arteri. Jabar memiliki jalan arteri milik provinsi
yang panjangnya 2.362 km. Sayangnya, lebih dari 50 persen dari total jalan
sepanjang itu sudah habis umur rencana teknisnya. Selama ini yang dilakukan
Dinas Bina Marga dan Penataan Ruang mayoritas adalah pemeliharaan berkala.
Memang ada sebagian ruas jalan yang direkonstruksi, tetapi masih sangat
sedikit. Padahal, langkah pemeliharaan tersebut hanya akan merawat dan
memperpanjang umur kemantapan jalan selama 4-5 tahun saja. Artinya, masih ada
pula pekerjaan yang harus dilakukan terkait kondisi jalan milik provinsi itu.
Selain itu, meski masih banyak sarana
lain yang harus dilengkapi, Jabar sudah memiliki bandara yang luasnya hanya
sedikit di bawah Bandara Soekarno-Hatta di Cengkareng. Itulah Bandara
internasional Jawa Barat (BIJB) Kertajati di Majalengka yang luas eksistingnya
1.040 haktare. Selain itu, ada pula Bandara Nusawiru di Kabupaten Pangandaran.
Bandara Nusawiru dikelola oleh Dinas Perhubungan Provinsi Jabar. Jika menilik
kewenangan yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang
Pemerintahan Daerah, Pemerintah Provinsi memang tidak memiliki kewenangan
mengurus bandara.
BIJB Kertajati diamanati menjadi salah
satu embarkasi di Indonesia. Dengan jumlah penduduk hampir 50 juta jiwa, Jabar
merupakan pasar yang sangat potensial. Artinya, potensi orang datang dan pergi
melalui jalur udara dari/ke Jabar bisa dipastikan jumlahnya tidak sedikit.
Benar bahwa orang pergi haji hanya setahun sekali. Kuota Jabar juga terbatas
sekitar 200 ribuan saja. Namun ada pasar yang jumlahnya sangat banyak dan bisa
berangkat tanpa mengenal waktu.
Ketika waktu antrean untuk pergi haji
sudah mencapai di atas sepuluh tahun, kaum muslimin Jabar akan memilih umrah
(haji kecil). Pilihan berumrah memang menjadi pilihan paling logis bagi mereka
yang merasa waktu tunggu hajinya terlalu lama. Belum lagi, mereka yang merasa
jika waktu berhajinya tiba, ia akan tergolong risiko tinggi karena saat berhaji
datang usianya tak muda lagi. Ibadah Umrah bisa dilakukan sepanjang tahun.
Dengan demikian, jumlah jamaah umrah asal Jabar bisa dipastikan tidak sedikit.
Demikian pula dengan calon penumpang
yang merupakan Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang berasal dari Jabar. Dengan
jumlah penduduk yang banyak dan jumlah pengangguran terbuka yang tidak sedikit,
PMI menjadi pilihan yang dianggap menjanjikan. Oleh karena itu, PMI menjadi
calon penumpang potensial yang akan menghidupi BIJB Kertajati. Selain itu,
masih ada wisatawan mancanegara (wisman) dan wisatawan nusantara (wisnus) yang
juga potensial mengunjungi berbagai objek daya tarik wisata unggulan di
Jabar.
Memang moda transportasi udara bukan
satu-satunya yang bisa digunakan ke dan dari Jabar. Terkait bidang
kepelabuhanan, Jabar juga memiliki Pelabuhan Patimban di Kabupaten Subang yang
bisa dibanggakan. Dengan status pelabuhan utama, salah satu kegiatan Pelabuhan
Patimban adalah ekspor. Dengan adanya ekspor, pasti ada beberapa keuntungan
dari keberadaan pelabuhan tersebut. Selain penyerapan tenaga kerja, Jabar juga
diuntungkan dengan peluang bertambahnya Pendapatan Daerah dalam anggaran
pendapatan dan belanja daerah (APBD) dari pos pendapatan transfer bagi hasil
pajak ekspor. Bahkan, bukan hanya Provinsi Jabar yang diuntungkan, Kabupaten
Subang pun akan bertambah Pendapatan Daerah dalam APBD-nya.
Ada satu hal lagi yang tidak bisa
dilupakan. Terlepas dari pro-kontra soal besaran utangnya, Kereta Cepat
Jakarta-Bandung (KCJB) memperkaya moda transportasi dari dan ke Jabar. Bahkan,
provinsi Jabar memiliki berbagai sarana olah raga yang patut dibanggakan.
Betapa tidak, banyak stadion besar di Jabar semisal Gelora Bandung Lautan Api
(GBLA) di Bandung, Stadion Wibawa Mukti di Kabupaten Bekasi, Stadion Pakansari
di Kabupaten Bogor, dan Stadion Patriot di Kota Bekasi. Jadi, boleh dibilang
Jabar telah memiliki infrastruktur yang cukup lengkap.
Untuk melayani kesehatan warganya,
Jabar juga memiliki banyak rumah sakit yang patut dibanggakan. Di Jabar
terdapat banyak rumah sakit dengan berbagai kelas, baik milik pemerintah pusat,
provinsi, maupun kabupaten/kota. Misalnya, Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) di
Kota Bandung. Meskipun RSHS milik pemerintah pusat, tetapi yang menerima
manfaatnya adalah masyarakat Jabar. Ada pula Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD)
Al-Ihsan, dan sederet rumah sakit lain yang tersebar di 27 kabupaten/kota.
Sekali lagi, semua itu diperuntukkan demi melayani kesehatan masyarakat Jabar.
Di bidang pendidikan, di Jabar
terdapat beberapa perguruan tinggi negeri (PTN) ternama di negeri ini. Ada
Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas
Padjadjaran (Unpad), Institut Pertanian Bogor (IPB), dan Universitas Pendidikan
Indonesia (UPI). Belum lagi, masih ada sederet perguruan tinggi swasta (PTS)
terdapat di Jabar. Beberapa PTN sudah memiliki Program Studi di Luar Kampus
Utama (PSDKU). Misalnya, Unpad memiliki PSDKU di Kabupaten Pangandaran. Selain
itu, ada pula Istitut Pertanian Bogor yang membuka di Kabupaten Cirebon.
Dengan berbagai dinamika yang melingkupinya,
Jabar telah membuktikan banyak hal. Jabar telah meraih opini Wajar Tanpa
Pengecualian (WTP) ke-12 dari Badan Pemeriksa Keuangan pada tahun 2023. Dengan
berbagai hal yang masih harus dibenahi, setidaknya hal itu menunjukkan bukti
bahwa ada kerja keras yang dilakukan. Belum lagi beragam penghargaan yang
diberikan oleh berbagai pihak, baik internasional, nasional, maupun
lembaga-lembaga swasta.
Terlepas dari berbagai keunggulan yang
dimiliki, ternyata masih banyak tantangan Jabar ke depan. Bagaimanapun, Jabar harus menyiapkan generasi
yang benar-benar siap bersaing dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Berbagai
prestasi dan keunggulan yang dimiliki harus tetap dipertahankan. Berbagai
kekurangan yang ada harus segera dibenahi. Selain itu, kebijakan yang diambil
haruslah demi untuk memberikan kesejahteraan sebesar-besarnya kepada masyarakat
sebagaimana yang diamanatkan Undang-Undang Dasar 1945.
Jadi, mari kita siapkan Provinsi Jawa
Barat menyongsong Tahun Emas Republik Indonesia 2045. Sekali lagi, keunggulan
demografis (kuantitas) saja tidak akan menjadikan Jabar sebagai provinsi yang
layak diperhitungkan provinsi lain. Dibutuhkan keunggulan kualitas yang
dibuktikan dengan penguasaan iptek yang memadai dan diperkuat imtak yang kuat.
Demi mewujudkannya, dibutuhkan arah dan kebijakan pembangunan Jabar yang lebih
komprehensif. Dengan demikian, barulah Jabar akan menjadi provinsi juara.