OPINI Oleh : Daddy Rohanady (Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat)
Drs.H Daddy Rohanady Anggota Komisi IV DPRD Jabar dari Fraksi Gerindra |
BIUTR memang sempat tertunda (ada yang
menyebutnya mangkrak) 17 tahun. Tentu saja dibutuhkan review ulang atas konsep
yang sudah ada. Jadi, tidak mengherankan jika muncul beragam tanggapan atas
proyek yang terpendam selama itu. Sebenarnya ini bukan satu-satunya pekerjaan
yang sempat terpendam. Lihatlah penyelesaian Tol Bogor-Ciawi-Sukabumi (Bocimi)
yang juga sempat mengalami hal serupa.
Bocimi sempat tertunda selama 12
tahun. Penyelesaian Bocimi baru dimulai lagi setelah proyek yang merupakan
kelanjutan Tol Jagorawi tersebut mengalami 5 kali ground breaking. Namun, ini
bukan pembelaan atas semua itu. Ini hanya sebuah perbandingan.
BIUTR yang panjangnya 27,3 km itu akan
menghubungkan Pasteur-Cileunyi. Jalan tol dalam kota ini nantinya akan melalui
sejumlah daerah. Misalnya, rute melintasi Tol Pasteur-Jalan Junjunan-Flyover
Pasirkaliki-Flyover Pasopati Gasibu-Jalan Surapati-Junction Pusdai-Jalan PHH
Mustofa-Junction Ujungberung-Cibiru-Junction Cileunyi.
Seperti lazimnya di kota besar lain,
BIUTR dibangun untuk memecah kemacetan yang selama ini kerap terjadi di Kota
Bandung. Struktur jalan yang akan dibuat elevated. Artinya, BIUTR ada di
atas jalan raya. Dalam proses pembangunannya, BIUTR diusulkan dibagi menjadi 4
fase.
Fase 1: Jalan Pintu Tol Pasteur dibuat
elevated. Fase ini menyambung Flyover Pasopati sepanjang 2,3 km. Jalur
tersambung ke underpass sepanjang 0,55 km dari Lapangan Gasibu ke Kantor Dinas
Pertanian.
Fase 2: Dari Underpass Gasibu, akan
dibangun jalur hingga Cileunyi melalui jalur onpass (di atas tanah). Fase ini
terbagi menjadi 3 seksi. Seksi I (Gasibu-Cicaheum), seksi II (Cicaheum-Ujung
Berung), dan seksi III (Ujung Berung-Cileunyi).
Fase 1B: Pembangunan onpass yang
menjadi penghubung menuju Jalan Tol Purbaleunyi km 149.
Fase 2B: Sambungan fase 1B dibuat
elevated dan onpass yang tersambung dengan kawasan fase 2.
Kota Bandung memang membutuhkan ruas
jalan pengurai kemacetan. Ini berkaitan dengan kian banyaknya wisatawan yang
datang ke Kota Kembang, selain memang penduduknya pun terus bertambah. Kota
Bandung kini menjadi destinasi wisata yang menarik minat banyak orang. Itu
membuktikan bahwa Kota Bandung menjadi salah satu tujuan wisata unggulan Jawa
Barat. Pasti itu karena banyaknya objek daya tarik wisatanya.
Tol GETACI
Di sisi lain, peran Tol Gedebge-Tasik
Cilacap pun tak kalah stategis. KehadiranTol Getaci bukan hanya ditunggu
masyarakat Jabar, khususnya mereka yang tinggal di wilayah timur bagian selatan
Jabar. Tol Getaci ditunggu pula oleh masyarakat Jawa Tengah bagian selatan di
sisi barat.
Tol Getaci juga bisa menjadi salah
satu akses strategis menuju Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) Kertajati.
Bukankah Kertajati merupakan jendela besar Jabar? Bagaimana mungkin fungsi
Kertajadi menjadi maksimal tanpa akses via Tol Getaci?
Sebenarnya, baik Getaci, BIUTR, maupun
Kertajati, semua diharapkan menjadi pengungkit roda perekonomian Jabar. Semua
pasti memiliki peran dan fungsinya masing-masing. Masalahnya, dengan
keterbatasan fiskal yang ada, tampaknya tidak mungkin merengkuhnya sekaligus.
Pertanyaannya, sampai kapan Jabar harus bersabar?
Tampaknya kita dihadapkan pada pilihan
mana yang lebih dulu harus dibangun: Getaci atau BIUTR? Akhirnya asas manfaat
yang harus diutamakan. Jika keuangan terbatas, tinggal pilih mana yang lebih
besar manfatnya. Jika sama-sama menggunakan APBN dan dananya hanya cukup untuk
satu proyek, tampaknya penyelesaian Getaci lebih besar dampaknya bagi Jabar.
Perkembangan Jabar selatan bagian
timur bisa lebih terpacu. Dengan demikian, hal itu akan mereduksi jarak
kemajuan dengan wilayah pantura yang selama ini selalu dikeluhkan.
Getaci diharapkan dapat menjalankan
fungsi tersebut. Kelancaran pergerakan orang dan barang pasti akan banyak efek
positifnya. Pertumbuhan ekonomi pun akan menjadi jauh lebih baik. Bukankah ada
motto: jalan mantap ekonomi lancar?
Ada satu hal lagi yang tak kalah
penting. Dalam setiap proyek pembangunan selalu ada masalah klasik, yakni terkait
lahan. Biasanya hal itu terjadi karena rakyat hanya menerima "ganti
rugi". Tampaknya konsep dan terminologi yang digunakan harus diubah
menjadi "ganti untung". Dengan demikian, semua bisa tersenyum
bahagia.