Drs.H. Daddy Rohanady (Anggota DPRD Jabar dari Fraksi Gerindra) |
IPM merupakan ukuran capaian
pembangunan manusia berbasis sejumlah komponen dasar kualitas hidup sebuah
negara. Pendekatan yang dijadikan tolok ukurnya adalah tiga dimensi dasar yang
mencakup umur panjang dan sehat (kesehatan), pengetahuan (pendidikan), dan
kehidupan layak (laju pertumbuhan ekonomi/LPE).
IPM digunakan sebagai indikator untuk
menilai aspek kualitas dari pembangunan dan untuk mengklasifikasi apakah sebuah
negara dikategorikan maju, berkembang, atau terbelakang, selain juga untuk
mengukur pengaruh kebijakan ekonomi terhadap kualitas hidup.
IPM dan RLS tentu tidak bisa
dipisahkan dari urusan sekolah. Stigma yang terbangun di masyarakat selama ini:
anak harus masuk sekolah negeri. Hal itu bukan tanpa alasan. Faktor yang paling
utama tentu saja terkait masalah biaya. Kita harus akui bahwa pilihan tersebut
berkaitan erat dengan kondisi perekonomian sebagian besar masyarakat.
Di sisi lain, jumlah sekolah negeri,
khususnya di tingkat SMA/SMK masih terbatas. Hal itu diperparah lagi dengan
salah satu kebijakan pendidikan kita, yakni penerimaan murid dikaitkan dengan
zonasi. Bagi orang mampu tampaknya zonasi tidak menjadi masalah. Mereka bisa
memilih sekolah kualitas bagus meskipun biayanya relatif mahal. Lantas bagi
mereka dari keluarga yang kurang mampu?
Zonasi membatasi banyak hal. Salah
satu dampaknya, cukup banyak anak
lulusan SMP suatu kecamatan tidak bisa masuk ke SMA di wilayahnya. Contoh
riilnya, banyak murid lulusan SMP Kecamatan Talun Kabupaten Cirebon yang masuk SMA
di Kabupaten Kuningan. Meskipun kedua kabupaten itu berada di Provinsi Jawa
Barat, ironis rasanya jika hal seperti itu terus dibiarkan. Ini salah satu
dampak pemberlakuan zonasi.
Jumlah lulusan SMP yang diterima di
tingkat SMA/SMK pasti berkaitan dengan rata-rata lama sekolah (RLS). Kian
sedikit jumlah lulusan SMP yang diterima atau melanjutkan ke SMA pasti akan
mempengaruhi angka RLS. Kian rendah RLS,
berarti kian rendah pula rata-rata pendidikan masyarakat. Kita semua tahu, pada
akhirnya hal itu akan berkaitan pula dengan banyak hal lain.
RLS merupakan salah satu unsur dalam
menghitung Indeks Pendidikan. Jika RLS rendah, Indeks Pendidikan juga akan
menjadi rendah. Karena Indeks Pendidikan merupakan salah satu unsur dari Indeks
Pembangunan Manusia (IPM), secara otomatis IPM pun akan menjadi lebih rendah
pula.
Sebagai contoh, hingga akhir 2023,
Kabupaten Cirebon memiliki IPM 70,95 dengan RLS 7,64 tahun. Raihan IPM seperti
itu tentu tidak dapat dipisahkan dari jumlah sekolah (SMA/SMK) di Kabupaten
Cirebon.
Dari total 40 kecamatan yang ada di
Kabupaten Cirebon, masih 17 kecamatan yang belum memiliki SMA Negeri. Itu
berarti baru 33 kecamatan yang memiliki SMA Negeri. Adapun kecamatan yang sudah
memiliki SMK Negeri baru 8 kecamatan saja.
Kecamatan yang sudah memiliki SMAN dan
SMKN hanya 4 kecamatan. Bahkan, dari total 40 kecamatan, ada 13 kecamatan yang
sama sekali belum memiliki SMAN/SMKN.
Ini baru potret kecil di salah satu
dari 27 kabupaten/kota di Jabar. Bagaimanapun ini merupakan pekerjaan rumah yang
amat serius untuk para calon kepala daerah, baik gubernur maupun bupati/wali
kota mendatang.
Bukankah kemajuan suatu bangsa
ditentukan oleh tingkat pendidikannya? Apakah Jabar sudah berpuas diri dengan
kondisi seperti ini?
Sudah selayaknya ada intervensi khusus
untuk daerah kabupaten/kota dengan raihan IPM yang masih rendah. Bagaimana
mungkin IPM Jabar akan meningkat jika kabupaten/kota dengan IPM rendah terus
dibiarkan tanpa kepedulian?
Bukankah pula pendidikan, kesehatan,
dan laju pertumbuhan ekonomi yang merupakan unsur IPM menjadi kewajiban negara?
Bukankah pula, suka tidak suka dan mau tidak mau, salah satu tolok ukur
keberhasilan pembangunan adalah IPM?