OPINI oleh : Daddy Rohanady (Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat)
Dadddy Rohanady (foto:ist). |
Kondisi tersebut bisa dipastikan akan
terus berjalan. Bisa jadi, persentase belanja pegawai tersebut akan terus
meningkat seiring terus bertambahnya jumlah Aparatur Sipil Negara (ASN) di
masing-masing instansinya.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20
tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara,
ASN adalah profesi bagi pegawai negeri sipil (PNS) dan pegawai
pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) yang bekerja di instansi pemerintah.
Secara umum ASN dipilih dan diangkat
untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan dan digaji berdasarkan
undang-undang. Seseorang perlu memenuhi sejumlah syarat untuk bisa diangkat
sebagai ASN.
Jadi, pegawai ASN adalah PNS dan PPPK
yang diangkat oleh pejabat pembina kepegawaian dan diserahi tugas dalam suatu
jabatan pemerintahan atau diserahi tugas negara lainnya dan diberi penghasilan
sesuai aturan perundang-undangan.
PNS merupakan bagian dari ASN, yang
diangkat secara tetap dan berhak mendapat jabatan tertentu dalam satuan
tugasnya. Sebagai penopang pemerintahan suatu negara, PNS berperan menciptakan
sistem pada suatu negara dengan tujuan meningkatkan taraf hidup masyarakat.
Ada PNS yang menjadi pegawai
pemerintahan pada tingkat pusat --baik kementerian maupun lembaga pemerintahan
pusat lainnya. Ada pula PNS yang menjadi pegawai pada tingkat pemerintahan
daerah.
Namun, tujuan utama semua instansi
pemerintah adalah mendorong kebijakan politik yang pro-rakyat untuk mewujudkan
kehidupan masyarakat yang lebih baik. Untuk itu, para ASN diharapkan senantiasa
memberikan pelayanan prima.
Selain ASN, masih banyak pengawai
honorer di berbagai instansi pemerintah. Karena provinsi dan kabupaten kota
jumlahnya lebih banyak, maka lebih banyak pula pegawai honorer di level ini.
Yang jadi masalah, mereka semua perlu
digaji. Itu yang membuat lonjakan persentase belanja pegawai. Untuk itu,
dibutuhkan regulasi untuk menyelesaikannya.
Belakangan ramai dibicarakan soal
batas terakhir pengangkatan para pegawai honorer. Batas tersebut dinyatakan 28
November 2024. Ini membuat provinsi/kabupaten/kota agak panik.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023
Tentang Aparatur Sipil Negara merupakan salah satu upaya Pemerintah untuk
memberi kepastian dan pengakuan atas kontribusi tenaga honorer. Mereka akan
diangkat menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
Undang-undang tersebut menyatakan
bahwa tenaga honorer akan dihapus pada Desember 2024. Setelah itu, pemerintah
dilarang merekrut tenaga honorer untuk mengisi jabatan ASN.
Pada awalnya 2,3 juta tenaga honorer
diproyeksikan akan diangkat menjadi PPPK. Namun, Menteri PAN RB Abdullah Azwar
Anas mengungkapkan honorer yang masuk database Badan Kepegawaian Negara hanya
1.788.851 orang.
Formasi PPPK 2024 yang telah
ditetapkan KemenPAN RB pun hanya 1,01 juta orang. Artinya, sekitar 770.000
tenaga honorer tidak terakomodasi.
Pemerintah juga meyakinkan bahwa
tenaga honorer yang terdata akan dijamin lolos PPPK pada seleksi CASN 2024.
Namun, tidak semua honorer akan diangkat menjadi PPPK penuh waktu. Akan ada
honorer yang diangkat menjadi PPPK paruh waktu.
Hingga saat ini, KemenPAN RB belum
memberikan kepastian terkaitnya tanggal dibukanya seleksi CASN 2024 dan hanya
menyatakan bahwa seleksi akan dibuka pada Juni atau Juli 2024.
Terlepas dari segala hiruk-pikuk
tersebut, beban belanja pegawai yang terus meningkat pasti membutuhkan solusi.
Ada beberapa alternatif untuk itu. Alternatif pertama, cost sharing. Artinya,
beban belanja pegawai di daerah tidak hanya ditanggung APBD. Beban tersebut
ditanggung bersama oleh semua tingkatan, baik pusat, provinsi, maupun
kabupaten/kota.
Pertanyaannya, mungkingkah hal itu
dilakukan? Jika pilihan itu yang diambil sebagai solusi, sangat dibutuhkan
political will dalam hal anggaran (goodwill), khususnya dari pemerintah pusat.
Pertanyaan berikutnya, maukah pemerintah pusat mengambil beban risiko tersebut?
Alternatif kedua, tetap utuh menjadi
beban pemerintah daerah seperti yang berlaku sekarang ini. Konsekwensinya, setiap daerah harus melakukan peningkatan
Pendapatan Daerah. Beban di provinsi pasti menjadi lebih berat karena mulai
tahun 2025 berlaku Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 Tentang Hubungan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD).
Pemperlakuan UU HKPD berdampak sangat
besar terhadap Pendapatan Daerah di provinsi. Persentase Dana Bagi Hasil (DBH)
akan bergeser secara signifikan. Provinsi yang semula mendapat porsi 70% dan
kabupaten/kota 30%, mulai tahun 2025 persentase pembagiannya akan dibalik.
Dengan demikian, ada penambahan DBH
yang cukup besar untuk kabupaten/kota. Di sisi lain akan ada pengurangan yang
sangat signifikan untuk Pendapatan Daerah di provinsi. Dibutuhkan solusi yang
signifikan untuk menutup pengurangan tersebut, baik intensifikasi maupun
ekstensifikasi. Misalnya, melalui pendapatan dari Kekayaan Daerah yang
Dipisahkan melalui dividen BUMD yang ada.
Jabar, misalnya, pada tahun 2025
mengalami turbulensi Pendapatan Daerah sebesar Rp 6 triliun. Apa yang akan dilakukan?
Bagaimana solusinya? Beban siapa seharusnya Belanja Pegawai dengan kondisi
seperti itu?