Oleh : Mirza Zulhadi
Mirza Zulhadi (Anggota Biasa PWI sejak 1989 – sekarang) |
Ada uang yang ditarik dari kas
organisasi. Lalu, katanya diterima pihak penerima dengan tanda terima.
Kemudian, dibantah tidak terima oleh pihak penerima. Akhirnya, uang kembali ke
kas organisasi. Faktanya bicara begitu. Dan, apa namanya ini? Persekongkolan
kah? Antar dua pihak, pemberi dan penerima, atau malah hanya di satu pihak
saja?
Klarifikasi tegas hanya datang dari
penerima, bahwa mereka tidak menerima uang sepeser pun. Bahkan menantang,
silakan tunjuk oknum yang menerima! Sebaliknya, tak muncul klarifikasi dari
pihak pemberi. Sebenarnya mudah saja. Jika benar, tinggal mengungkap siapa yang
menerima. Apalagi pihak penerima seolah menantang, sebut nama oknumnya!
Tak sepatah kata pun yang terucap.
Seakan mengacuhkan beragam informasi yang beredar di publik, bahwa telah
terjadi sesuatu kekeliruan dalam kerjasama dua pihak. Meski kabar yang menyebar
menyudutkan pihak pemberi, bahkan lewat kalimat yang sudah menjurus pada
tuduhan kriminal. Namun tetap bisu. Tak ada bantahan, alias diam!
Pertanyaan lanjutan adalah, apakah
fakta sesuai dengan kenyataan? Karena sepi penjelasan. Kali ini diam bukan berarti
emas. Sebab ada tuduhan, yang butuh jawaban. Seperti apa kebenarannya? Jangan
nanti fakta dianggap sebagai kebenaran. Atau, memang faktanya sudah sesuai
dengan kebenaran yang terjadi. Artinya tak butuh penjelasan tambahan.
Yang muncul berbagai penjelasan, yang
intinya tidak membantah kebenaran adanya niat cashback. Sembunyi dibalik
penjelasan hasil akuntan publik yang menyebut tidak ada penyalahgunaan keuangan
organisasi. Meski dengan memasukan disclaimer, catatan akuntan itu pasti benar.
Hanya tidak ada kaitan dengan cashback.
Demi cashback, akhirnya jabatan
dipertahankan mati-matian. Lahirlah beragam SK. Mengaduk aturan main organisasi
lewat kacamata kepentingan sendiri. Untuk menyelamatkan aksi cashback, antara
lain mengembalikan uang ke kas. Meluaskan permasalahan dengan menyentuh ranah
hukum. Langkah yang memunculkan efek bumerang. Muncul laporan balik ke aparat
penegak hukum.
Perseteruan internal kian berkembang.
Sebagian besar anggota tidak nyaman dengan adanya ”kongkalikong” soal uang.
Malu! Pihak ketiga mengusulkan solusi rekonsiliasi, tapi bagi mereka yang
kadung malu, rekonsiliasi bukan perkara mudah. Ungkap dulu kenyataannya, apakah
kekeliruan, terpeleset, atau memang niat jahat? Ini agar semua bisa bersalaman
dengan hati dan tangan yang bersih.
Cashback bukan haram. Katanya, sejak
pengurus ke pengurus organisasi ini, istilah itu dikenal. Sering diberikan
sebagai tanda terimakasih. Saling tau sama tau. Lalu, kenapa kali ini
diributkan? Pasti ada sesuatu yang secara kasat mata dinilai tidak wajar. Entah
jumlah, atau calon penerima yang tentunya bukan orang sembarangan. Mungkin juga
karena tidak sesuai prosedur. Sebuah pengakuan jujur, sekali lagi, ini yang
dibutuhkan. Klarifikasi. Apalagi masalahnya sudah menjadi konsumsi publik.
Malu-maluin profesi!
Masalah berlarut dan menyebar ke
segala arah. Tanpa urat malu. Bahkan tanpa batasan kode etik. Menyerang
personal tanpa peduli etis. Juga tak menggubris bahwa kasus nantinya berefek
pada rendahnya kepercayaan publik terhadap organisasi ini. Di sisi lain, niat
awal bersatu di bawah bendera organisasi ini, antara lain demi menjaga
integritas dan profesionalisme. Semua bisa terhapus, tersisih oleh gema kasus
cashback.
Saatnya menyudahi debat organisatoris
dengan argumen dari kacamata sendiri. Tak ada habisnya. Angkat ke area lebih
tinggi. Etika! Etika tidak bicara tentang benar dan salah. Etika bicara tentang
apa yang baik dan buruk, mengenai hak dan kewajiban moral. Etika berhubungan
dengan nilai benar yang dianut masyarakat. Pada gilirannya, etika adalah bicara
kejujuran. Nurani! Dan, jujur adalah kesesuaian antara kondisi lahir dan batin.
Ucapan dan perbuatan. Antara berita dan fakta. Persoalannya, apakah masih
berani jujur?
Penulis adalah Anggota Biasa PWI sejak
1989 – sekarang.