Komisi C DPRD Kota Bandung mengundang Peneliti Pusat Studi Komunikasi Lingkungan Universitas Padjadjaran Dr. Herlina Agustin, untuk membahas solusi masalah sampah, di Ruang Komisi C, (foto:Humpro). |
Pertemuan itu dipimpin Ketua Komisi C
Agus Hermawan, S.A.P., Wakil Ketua Komisi C, H. Agus Andi Setyawan, S.Pd.I.,
dan dihadiri Anggota Komisi C, H. Andri Rusmana, S.Pd.I., H. Sutaya, S.H.,
M.H., Yoel Yosaphat, S.T., Iqbal Mohamad Usman, S.I.P., S.H., serta Nunung
Nurasiah, S.Pd.
Dalam paparannya, Herlina
mengelompokkan sejumlah faktor yang pemicu persoalan sampah di Kota Bandung.
Hal yang memengaruhi persoalan sampah yakni pertumbuhan penduduk dan
urbanisasi, pola konsumsi yang tinggi dan budaya konsumtif sekali pakai, hingga
produksi sampah makanan yang begitu besar.
Di samping itu, persoalan sampah juga
erat kaitannya dengan budaya dan kesadaran lingkungan yang masih rendah,
keterbatasan alternatif pengelolaan sampah organik, serta dampak industri dan
aktivitas komersial melalui kemasan-kemasan pemicu produksi sampah masif.
“Pemilahan sampah itu sulit. Industri
juga harus bertanggung jawab atas produk dan kemasan yang memicu pola konsumsi
publik sehingga menimbulkan sampah. Masyarakat juga harus bertanggung jawab
tetapi pola reward dan punishment nanti harus dibuat dalam sebuah sistem,”
tuturnya.
Permasalahan keterbatasan dan
pemilahan sampah ini diikuti dengan kurangnya infrastruktur daur ulang dan bank
sampah, di tengah persoalan TPA Sarimukti yang sudah melebihi kapasitas.
Selain soal sampah, Herlina juga
menyinggung tentang ancaman krisis air yang dihadapi Kota Bandung. Saat ini
terjadi penurunan tanah di beberapa titik di Bandung yang berkisar 5-10
sentimeter, juga 15-20 sentimeter per tahun.
Di daerah Gedebage, penurunan tanah
berkisar 8-10 sentimeter per tahun. Kondisi ini diperburuk dengan wilayah
tangkapan air di Bandung utara yang beralih fungsi. Padahal, diperlukan
setidaknya lima ribu hektare ruang terbuka hijau (RTH) untuk menjadi resapan
air di Kota Bandung.
“Land subsidence jadi indikator
kerusakan air tanah yang berujung krisis air di Bandung. Pada 2050, air
tanahnya akan habis dan terjadi subsidence. Hal kecil bisa dilakukan semisal
dinas wajib pakai air daur ulang. Filterisasi air itu penting. Setiap kantor perlu
ada untuk mengurangi pemakaian air berlebih,” ujar Herlina, yang juga dosen
program studi Jurnalistik Universitas Padjadjaran itu.
Anggota Komisi C, Andri Rusmana
mengatakan, Kota Bandung tidak memiliki rencana induk sistem drainase. Dalam
sisi kelembagaan di pemerintahan, komunikasi antardaerah juga lemah.
“Urusan lingkungan, banjir, sampah
tidak bisa diselesaikan oleh satu dinas atau kota atau kabupaten. Ini harus
kerja bersama. Jadi tidak boleh ada ego sektoral. Di kawasan utara sudah gundul
parah. RTH kita sangat terbatas. Idealnya untuk Bandung perlu dipikikan
edukasinya,” kata Andri.
Anggota Komisi C, Nunung Nurasiah
menambahkan, pertemuan ini untuk menelusuri permasalahan lingkungan dan mencari
pola ideal dalam penanganan polemic seperti sampah, di Kota Bandung.
“Walaupun di Kota Bandung ada Perda
Nomor 9 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sampah tetapi kita masih dalam kondisi
darurat sampah. Kita inginnya zero waste. Kalaupun sekarang ada progress
pembangunan TPST di beberapa titik, ditambah lagi komunitas-komunitas
penggerak, tetapi belum signifikan,” ucapnya.
Anggota Komisi C, Yoel Yosaphat
berharap pertemuan ini bisa berlanjut menuju langkah-langkah terwujud agar
setiap ancaman bencana ekologi bisa dihindari.
“Apa yang bisa dilakukan agar bisa
mencegah hal itu terjadi. Kita tahu betapa berisikonya kehidupan kita dengan
gaya hidup kita saat ini. Tetapi keadaan lingkungan kota dari tahun ke tahun
tidak membaik. Tinggal menunggu waktu, apakah masih bisa diperbaiki?” tuturnya.
Anggota Komisi C, Sutaya menilai
langkah-langkah optimistis patut dirawat sehingga muncul banyak alternatif dan
jalan keluar dari masalah lingkungan.
“Wajib ikhtiar. Jalan keluar
bagaimana. Aturan sudah banyak. Mentoknya di masyarakatnya. Harus diberi reward
dan punishment tetapi yang menyentuh. Kalau sosialisasi, mentok juga di hadapan
masyarakat. Bagaimana menghadapi karakter orang Bandung supaya program-program
ini bisa menghasilkan solusi,” katanya.
Anggota Komisi C, Iqbal Mohamad Usman
menjelaskan, bila ditinjau dari aspek tata kelola pemerintahan, penting untuk
mengawali pembenahan dari hulu permasalahan. Produksi sampah, misalnya, masih
harus ditekan dari perilaku masyarakat yang selama ini mudah tergiur
menggunakan kemasan pemicu sampah baru.
“Program dari almarhum Mang Oded
(mantan wali kota Bandung), Kang Pisman, memperbaiki di hulunya dulu melalui
edukasi pola pikir. Pola pikir ini yang diperlukan, termasuk di
pemerintahannya, karena sosial dan kultur warga memengaruhi, sumber daya di
pemerintahan juga memengaruhi,” ujar Iqbal.
Wakil Ketua Komisi C, Agus Andi
Setyawan mengatakan, DPRD Kota Bandung tentu akan selalu siap mendukung dari
sisi anggaran bila programnya terukur.
“Kita akan dukung anggaran asalkan
programnya riil di lapangan. Di lapangan itu harus betul-betul dicek. Saya
berharap Bu Herlina bisa terus bekerja sama dengan Komisi C supaya bisa terus
mengawal hingga solusi-solusi ini bisa menyelesaikan persoalan lingkungan,”
katanya.
Ketua Komisi C, Agus Hermawan
mengatakan, konsultasi bersama akademisi ini merupakan langkah serius DPRD Kota
Bandung untuk menyelesaikan berbagai permasalahan. Isu lingkungan yang
dibidangi oleh Komisi C menjadi salah satu agenda penting untuk dikawal karena
menyangkut warisan “hijau” bagi warga Kota Bandung hingga masa mendatang.
“Dalam kesempatan ini kami berterima
kasih kepada Ibu Herlina atas kesediaannya berkolaborasi bersama Komisi C.
Mudah-mudahan ada rekomendasi dari hasil membedah masalah bersama. Setelah
pertemuan ini kita punya gagasan, untuk mengawal kinerja dinas terkait. Nanti
hasilnya akan kita pelajari, dan kami akan mengembangkan ide tersebut,” tutur
Agus. (Editor/red).