Dalam kegiatan tersebut, dr. Agung pun
berkesempatan untuk mempelajari komunikasi dan aksesibilitas melalui bahasa
isyarat dari salah seorang aktivis dari Yayasan Jendela Tuli Indonesia, Asri
Anggraeni Putri.
"Komunitas Tuli ini adalah
kumpulan orang-orang hebat, karena meskipun dengan keterbatasannya, mereka
tetap berkarya, dengan mengajarkan masyarakat untuk belajar tentang bahasa
isyarat," ujarnya.
Ia menuturkan, aksesibilitas
komunikasi bahasa isyarat setiap wilayah memiliki kekhasannya serta pemaknaanya
masing-masing, seperti halnya di Bandung, Jakarta, termasuk di luar negeri atau
yang dikenal dengan American Sign Language (ASL).
"Setelah berkomunikasi dan
mempelajari langsung, juga tadi dijelaskan ternyata setiap wilayah punya budaya
berkomunikasi bahasa isyarat juga makna yang beda-beda. Jadi tadi saya belajar
masih tahap dasar ya, seperti mengenal bahasa isyarat, mengenal hari, bulan, dan
tanggal, juga bagaimana memperkenalkan diri dan menyapa lawan bicara, dan masih
banyak tahapannya," katanya.
dr. Agung menuturkan, mempelajari
bahasa isyarat sangatlah penting, terutama dalam hal memudahkan komunikasi
dengan lawan bicara yang merupakan penyandang disabilitas, serta meningkatkan
empati.
Selain itu, dapat menstimulasi
perkembangan otak karena mengasah aspek visual, verbal, dan kinetik secara
bersamaan. Dalam jangka panjang juga akan meningkatkan kemampuan menyimpan
memori yang lebih baik.
"Pada dasarnya kaum penyandang
disabilitas ini memiliki hak yang sama dengan kita. Maka dengan kita mengenal
bahasa isyarat selain memudahkan untuk bisa berkomunikasi dengan mereka, namun
juga meningkatkan kemampuan otak kita untuk menyimpan memori berpikir lebih
baik," tuturnya.
Oleh karena itu, dr. Agung berharap,
pendidikan bahasa isyarat dapat diperkenalkan sejak dini, bahkan masuk dalam
kurikulum pendidikan anak di sekolah seperti halnya pendidikan bahasa asing
yang sudah menjadi program pendidikan nasional.
"Saya pikir, bahasa isyarat ini
harus masuk dalam program pendidikan di sekolah-sekolah di Kota Bandung.
Sehingga tidak ada diskriminasi atau pembatasan bagi anak-anak yang memiliki
keterbatasan untuk mendapatkan hak pendidikan sebagai anak bangsa, karena semua
sekolah itu inklusif," ucapnya.
Sementara itu, aktivis Tuli Jawa Barat
Asri Anggraeni Putri menjelaskan, bahasa isyarat tidak hanya memainkan peran
krusial dalam komunikasi sehari-hari bagi komunitas Tuli dalam berkehidupan
bermasyarakat. Tetapi juga memastikan hak-hak komunitas Tuli dapat terpenuhi
secara adil.
Asri meminta, adanya perubahan nyata
dari pemerintah untuk mewujudkan aksesibilitas fasilitas publik yang inklusif
dan adil bagi penyandang disabilitas, khususnya komunitas Tuli.
Serta pentingnya peran serta
masyarakat dalam mendukung inklusivitas, sehingga hak-hak komunitas Tuli dapat
diakui dan dilindungi dengan baik.
Menurut Asri, dengan dukungan
kolaborasi dan sinergitas dari semua pihak, diharapkan terciptanya dunia yang
lebih baik untuk para penyandang disabilitas.
"Kita semua harus berperan aktif
dalam memastikan bahwa informasi dan layanan publik bisa diakses semua orang,
termasuk komunitas Tuli, karena kesetaraan dalam akses informasi juga
memfasilitasi setiap potensi adalah hak semua orang, tanpa terkecuali,"
ujarnya. (Permana/red).