DADDY ROHANADY (Anggota DPRD Jabar dari Fraksi Gerindra) |
Infrastruktur publik sangat dibutuhkan
jika kita ingin mencapai pertumbuhan yang lebih tinggi. Bagaimana mungkin kita
memberikan pelayanan public secara maksimal jika sarana dan prasaranya tidak
mencukupi untuk itu?
Tidak mungkin pemerintah provinsi
Jabar mampu memberikan pelayanan pendidikan secara maksimal jika masih lebih
dari 100 kecamatan yang belum memiliki SMA/SMK negeri. Padahal --suka tidak
suka dan mau tidak mau-- kita harus menerima kenyataan bahwa mayoritas
masyarakat masih menginginkan anak-anaknya bersekolah di SMA/SMK negeri.
Kewenangan SMA/SMK dan SLB merupakan bagian dari kewenangan pemerintah
provinsi.
Kondisi tersebut menuntut adanya
akselerasi pembangunan unit sekolah baru SMA/SMK negeri di semua kecamatan
tersisa yang “tertinggal” itu. Dengan demikian, tidak aka nada lagi anak-anak
di Jabar yang harus melanjutkan sekolah ke SMA/SMK di kabupaten/kota yang
berbeda dengan tempat tinggalnya. Di sisi lain, kebijakan penerimaan siswa
berdasarkan zonasi juga tidak terlepas dari pro-kontra. Misalnya, para orang
tua mengejar “zona aman”, demi anaknya diterima di sekolah unggulan.
“Sekolah unggulan” telah melahirkan
kompleks baru dalam skala besar yang isinya para calon siswa. Belum lagi kasus
yang sempat merebak, yakni terkait “cuci raport” dan “prestasi dadakan”. Memang
semua itu dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Namun, hal itu
juga terjadi karena adanya celah untuk melakukan hal itu. Kita tidak mungkin
membiarkan fenomena tersebut terus terjadi.
Demikian juga dengan pelayanan di
bidang kesehatan. Jumlah penduduk yang 50 juta orang lebih itu tersebar di 27
kabupaten/kota. Tidak mungkin semua hanya bertumpu pada Rumah Sakit Hasan
Sadikin (RSHS) di Kota Bandung. Memang, dari segi kelengkapan, baik dokter
maupun peralatan, RSHS sudah sangat memadai. Namun, tidak mungkin pula hal it
uterus dibiarkan.
Sebenarnya beberapa kebijakan di masa
lalau sudah benar arahnya. Beberapa wilayah semestinya memiliki rumah sakit
regional dengan skala pelayanan sesuai standar cakupan wilayah regionalnya
masing-masing. Di Kota Cirebon, misalnya, ada RS Gunungjati. RS tersebut
diharapkan mampu menangani pasien dari, setidaknya, wilayah Ciayumajakuning
(Kabupaten Cirebon, Kota Cirebon, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Majalengka,
dan Kabupaten Kuningan).
Sayangnya harapan itu kerap kali juga
kurang mendapat sambutan masyarakat. Sebenarnya hal itu juga bisa dipahami
karena RS Gunungjati tidak ditunjang dengan jumlah dokter spesialis dan
sarana/prasarana sehebar RSHS. Belum lagi jika kita bahas jumlah tempat tidur
yang ada. Jadi, agak sulit juga kita membendung stigma “kalua mau lengkap yang
ke RSHS”.
Dari 27 kota/kabupaten di Jawa Barat,
daerah yang memiliki rumah sakit tingkat provinsi baru enam daerah. Itu pun
dengan peta sebaran kurang merata. Enam rumah sakit tersebut dalah RSUD Al Ihsan
di Kabupaten Bandung, RS Jiwa Cisarua di Kabupaten Bandung Barat, RS Paru
Sidawangi di Kabupaten Cirebon, RSUD Jampang Kulon di Kabupaten Sukabumi, RSUD
Pameungpeuk di Kabupaten Garut, dan RS Kesehatan Kerja Rancaekek di Kabupaten
Bandung.
Dari segi penanganan jalan dan
jembatan pun masih ada saederet pekerjaan rumah. Jika perekonomian diharapkan
berjalanlancar sehingga laju pertumbuhan ekonomi meningkat pesat, dibutuhkan
jalan yang mantap. Bagaimana mungkin arus orang dan barang akan lancar jika,
misalnya, jalan tidak daklam kondisi mantap (baik)? Jalan provinsi yang
panjangnya 2.360,58 km itu sekitar 50% umur rencana teknisnya sudah habis.
Jadi, jalan seperti itu harus direkonstruksi. Jika hanya langkah pemeliharaan
rutin yang dilakukan, artinya kita menunggu “bom waktu”.
Jabar juga merupakan lumbung padi
nasional. Artinya, Jabar menjadi penyuplai beras terbesar secara nasional.
Beberapa tahun lalu memang wilayah nomor satunya ada di Kabupaten Karawang.
Seiring berjalannya waktu dan terjadinya alih fungsi lahan, lumbung Jabar
bergeser ke Kabupaten Indramayu. Memang Karawang masih berperan untuk itu
selain wilayah lainnya semisal Kabupaten Subang, Kabupaten Cianjur, Kabupaten
Bekasi, dan Kabupaten Bogor.
Terkait posisinya sebagai lumbung padi
nasional, seberapa kuat Jabar membendung arus alih fungsi lahan? Lalu, seberapa
siap ketersediaan benih, pupuk, teknologi, dan irigasi mendukung posisi jabar
tersebut? Berbagai inovasi yang ada telah melahirkan banyak benih unggul.
Pabrik pupuk juga ada di banyak wilayah, bahkan di Jabar (Karawang) juga ada
pabrik Pupuk Kujang. Artinya, semestinya pupuk tidak menjadi persoalan serius
seperti yang kerap kita jumpai di lapangan. Demikian pula dengan teknologi
pertanian yang terus berkembang.
Irigasi juga memiliki peran strategis
dalam mendukung kemandirian pangan daerah. Bagaimana mungkin sawah-sawah akan
menghasilkan produktivitas yang baik jika tidak didukung dengan pasokan air
yang memadai. Faktanya, masih banyak saluran irigasi di Jabar yang membutuhkan
penanganan serius.
Kondisi tersebut membuat indeks
pertanaman Jabar masih di bawah 2. Hal itu berdampak pada nilai tukar petani
(NTP). Per Juli 2024 NTP Jabar adalah 110,92%, sedangkasn NTP nasional per April 2024 adalah 116,79%. Itu menunjukkan
bahwa kesejahteraan petani dianggap belum terlalu menjanjikan. Tidak
mengherankan jika lantas animo generasi muda untuk menjadi petani tidak terlalu
menggembirakan. Hal itu terlihat dari usia rata-rata petani kita yang sudah di
atas 40 tahun.
Terlepas
dari berbagai hal tersebut, ada sederet catatan lain sepanjang 2024.
1. Apresiasi
untuk para OPD yang mendapat penghargaan dari berbagai pihak sepanjang 2024.
Misalnya
a. Pemprov
Jabar: Outstanding in Campaigning Growth and Public Empowerment dalam ajang CNN
Indonesia Award 2024;
b. Dinas
Bina Marga dan Penataan Ruang: Penghargaan Kementerian Pekerjaan Umum pada
Puncak Peringatan Hari Jalan Tahun 2024
c. Provinsi
dengan kategori realisasi pendapatan asli daerah (PAD) tertinggi dan
peningkatan PAD tertinggi dari Kemendagri.
d. Dan
masih sederet panghargaan lainnya.
2. Beberapa
hal yang masih perlu pembenahan, semisal di Dinas Lingkungan Hidup terkait
penanganan persampahan regional. Apa yang terjadi di Sarimukti, saya kira,
harus segera dibenahi dalam beberapa hal, semisal penanganan air lindi yang
mencemari Citarum. Lalu ada pula penanganan Sungai Cilamay yang kadar COD dan
BOD-nya sudah sangat jauh di atas ambang batas.
3. Penanganan
kawasan kumuh harus terus diupayakan oleh Dinas Permumahan dan Permukiman,
termasuk masalah air minum dan perbaikan rumah tidak layak huni.
4. Penertiban
penggunaan air permukaan dan air tanah dalam di Dinas ESDM juga harus terus
dioptimalkan karena berkaitan pula dengan pajak yang akan diterima.
5. Rekonstruksi
dan pemeliharaan jalan harus terus dilakukan oleh Dinas Bina Marga dan Penataan
Ruang untuk mewujudkan “jalan mantap ekonomi lancar”.
6. Semua
memang membutuhkan biaya. Artinya dibutuhkan dukungan anggaran yang memadai
untuk merealisasikan semua itu.
7. Masih
sederet pekerjaan rumah yang harus diselesaiakn oleh Gubernur Jabar terpilih
Kang Dedi Mulyadi (KDM). Semua indikator makro, semua indikator kinerja utama
(IKU), semua target dan sasaran yang telah ditetapkan dalam RPJPD dan nantinya
juga RPJMD, membutuhkan upaya serius untuk mewujudkannya.
8. Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah harus merumuskan itu semua dan menungkannya
dalam sebuah rencana kerja yang terukur, akuntabel, transparan, yang pada
tataran implementasinya harus dilakukan secara efektif, dan efisien.
Dengan sederet PR tersebut, masih
mungkinkah Jabar berperan secara strategis di tingkat nasional? Mungkinkah
Jabar akan berkontribusi dalam kancah nasional? Langkah-langkah apa saja yang
harus dilakukan oleh Kang Dedi Mulyadi-Erwan Setiawan sebagai Gubernur-Wakil
Gubernur terpilih hasil pilkada 2024?
Selain pembenahan internal
pemerintahan, KDM sebagai orang nomor satu di Jabar harus melakukan pula
koordinasi dengan semua pemangku kepentingan. Selain bekerja sama dengan DPRD
Provinsi Jabar, KDM harus pula berkoordinasi dengan Pemerintah Pusat dan 27
pemerintahan kabupaten/kota se-Jabar. Di luar itu, KDM juga harus berkolaborasi
dengan banyak pihak lainnya di luar pemerintahan. Jadi, sederet pekerjaan sudah
menanti untuk segera ditangani.
Sebenarnya Langkah para kepala daerah
sudah “diperingan” dengan terjadinya penyelarasan Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Nasional (RPJPN) dengan semua Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah
(RPJPD). Hal itu akan disusul dengan penyelarasan Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJPN) dengan semua Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Daerah (RPJMD). Dengan semua penyelarasan itu maka tujuan pembangunan nasional
dan tujuan Pembangunan daerha akan semakin sinkron. Tinggal menguatkan
sinergitas dalam pelaksanaannya.
Mari kita nantikan langkah-langkah
strategis yang dilakukan dalam rangka mewujudkan masyarakat Jabar Istimewa:
maju, sejahtera, adil, dan makmur.
Penulis : Drs.H. Daddy Rohanady (Anggota DPRD Jabar dari Fraksi Gerindra