Daddy Rohanady (Anggota DPRD Prov Jabar)
Provinsi Jawa Barat
(Jabar) sudah dua kali mengalami turbulensi dalam hal volume APBD. Turbulensi
APBD Jabar jilid 1 terjadi ketika musibah melanda seluruh negeri pada akhir
2019. Otomatis kala itu terjadi penurunan volume APBD Jabar Tahun Anggaran 2020
sekitar Rp 10 triliun. Refocusing dan realokasi anggaran pun tak terhindarkan.
Hal itu berakibat pula pada banyaknya program/kegiatan yang tidak terbiayai.
Pemerintah Provinsi
Jabar lantas memutuskan untuk berutang ke PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI)
sebesar Rp 1,8 triliun pada APBD Perubahan 2020 dan berutang kembali pada APBD
murni 2021 sebesar Rp 2,2 triliun. Jadilah Jabar untuk pertama kali dalam sejarah
sejak 2009 berutang total sebesar Rp 4 triliun. Itulah nomenklatur Pinjaman
(Utang) Daerah yang muncul dalam stuktur APBD Jabar kala itu.
Hal itu lantas harus
diikuti pula dengan munculnya nomenklatur baru lainnya pada bagian Pengeluaran
Pembiayaan Daerah, yakni Pembayaran Pinjaman (Utang) Daerah. Lalu, hal itu
harus pula dilakukan setiap tahun. Nilainya hingga kini adalah sekitar Rp 566
miliar per tahun yang dituangkan dalam APBD murni. Ini utang yang harus dibayar
oleh seluruh rakyat Jabar melalui APBD Provinsi Jabar.
Turbulensi APBD Jabar
jilid 2 terjadi sebagai akibat koneskwensi logis diberlakukannya Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2022 Tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah (UU HKPD). Undang-Undang tersebut menegaskan bahwa dana bagi
hasil (DBH) antara Provinsi dan Kabupaten/Kota yang selama ini berjalan
diputuskan mengalami perubahan yang sangan signifikan.
Hingga 2024 DBH
dibagi dengan komposisi pada kisaran 70%
menjadi hak provinsi, sedangkan sekitar 30% menjadi hak kabupaten/kota. Dengan
diberlakukannya secara efektif UU HKPD mulai Januari 2025, komposisi itu
dibalikkan. Artinya, mulai Januari 2025 komposisi DBH menjadi sekitar 70%
adalah hak kabupaten/kota dan sekitar 30% menjadi hak provinsi.
Dampaknya tentu saja
sangat signifikan. Bagi Provinsi Jabar, pemberlakuan UU HKPD menimbulkan
turbulensi APBD jilid 2, yakni turunnya volume Pendapatan Daerah sebesar Rp 6
triliun. Bisa dibayangkan akibat turunannya. Hal itu membuat sejumlah besar
program dan kegiatan yang ada tidak terbiayai secara memadai. Bahkan, banyak
pos yang dengan sangat terpaksa harus dihilangkan. Bansos/hibah serta bantuan
keuangan ke kabupaten/kota pun ikut “terkurud”.
Di sisi lain,
pemberlakuan UU HKPD bagi kabupaten/kota justru memberi berkah. PAD
kabupaten/kota seketika mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Kemampuan
keuangan kabupaten/kota pun meningkat cukup tajam. Bahkan, beberapa
kabupaten/kota di Jabar menerima “pergeseran DBH” yang sangat tidak sedikit.
Dengan demikian, mereka mampu lebih banyak membiayai program/kegiatan
pembangunannya.
Kini kemajuan
pembangunan di tingkat kabupaten/kota justru amat tergantung pada kebijakan di
kabupaten/kota itu sendiri. Bantuan keuangan yang biasanya mengalir cukup besar
dari Provinsi Jabar ke kabupaten/kota dipastikan akan berkurang pula volumenya
–kalau tidak boleh dijadikan nihil. Ini pun butuh penyelarasan di sana-sini.
Kabupaten/kota
diharapkan mampu membiayai pos-pos belanja Pembangunan yang selama ini banyak
bergantung pada bantuan keuangan provinsi. Peningkatan volume APBD
kabupaten/kota diharapkan mampu membiayai program/kegiatan masing-masing secara
lebih maksimal, efektif, dan efisien.
Sementara itu, APBD
provinsi tampaknya harus lebih banyak digunakan untuk pencapaian target-target
yang menjadi kewajiban Pemerintah Provinsi. Indikator Kinerja Utama (IKU) dalam
masing-masing RPJPD dan RPJMD harus menjadi target yang diupayakan realisasinya
oleh masing-masing tingkatan pemerintahan. Tentu saja dengan demikian semua
diharapkan berjalan simultan untuk mewujudkan visi dan misi Indonesia Maju
2045.
Di sisi lain, Pemprov
Jabar sendiri memiliki sederet target yang sudah dituangkan dalam RPJPD maupun
RPJPD/RPD. Target dan sasaran tersebut pasti akan mengalami penyelarasan
seiiring dengan terpilihnya Gubernur Jabar yang baru berdasarkan pemilihan
kepala daerah pada 27 November 2024 lalu. Belum lagi aka nada penyelarasan
RPJMD terkait dengan revisi RPJMN. Di luar itu, masih ada hal lain yang juga
harus dimasukkan dalam RPJMD, yakni janji-janji Gubernur Jabar terpilih.
Jika melihat
kemampuan keuangan daerah, dari sisi Pendapatan Daerah yang ada, rasanya fiscal
gap menganga begitu besar. Artinya, akan banyak program/kegiatan yang tidak
terbiayai secara maksimal. Konsekwensi logisnya adalah sulit mencapai
target-target IKU yang sudah ditetapkan.
Solusinya adalah
menambah Pendapatan Daerah. Ada beberapa pos pendapatan yang masih bisa
ditingkatkan. Bisa dengan ekstensifikasi atau intensifikasi. Contoh
ekstensifikasi adalah dengan meminta kebijakan pusat agar Perusahaan yang
Lokasi pabriknya di Jabar agar memindahkan pula kantor pusatnya ke Jabar.
Dengan demikian PPH
21 dan PPH 25 Badan akan menjadi hak Jabar. Selama ini PPH tersebut diserahkan
ke tempat domisili kantor pusatnya, meskipun kantor pusat tersebut hanya sebuah
ruangan kecil. Padahal, selain kantor pusat hanya sekamar, karyawan yang
jumlahnya ratusan “buang kotoran” di Jabar. Belum lagi pajak kendaraan dll.
Ada sumber lain yang
juga seharusnya memberi kontribusi yang signifikan ke pos Pendapatan Asli
Daerah, yakni Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Sayangnya, dari 41 BUMD milik
Pemprov Jabar, mayoritas masih menganggap APBD adalah ATM. Dengan demikian,
jangankan memberi dividen, mempertahankan hidupnya saja sudah megap-megap.
BUMD juga harus
dioptimalkan. Bukankah BUMD didirikan
untuk menambah Pendapatan Asli Daerah melalui dividen. Memang ada fungsi lain
dari BUMD, yakni social services. Pertanyaanya, bagaimana atau apa yang harus
dilakukan jika BUMD tersebut tidak mememuhi kedua unsur itu, baik dividen
maupun public services?
Tampaknya BUMD milik
Provinsi Jabar harus dilakukan due diligence agar diperoleh data yang
komprehensif sehingga ada keputusan yang lebih tepat untuk menyikapinya. DPRD
sempat mewacanakan dibentuknya Pansus BUMD. Dari sana kemudian akan diperoleh
alternatif Keputusan: dilebur/merger, dibubarkan/ditutup, atau
dipertahankan/ditingkatkan.
Naikkan juga potensi
ekspor dari Jabar dengan adanya Pelabuhan Utama Patimban di Kabupaten Subang.
Ini akan berdampak pada pendapatan dari pajak ekspor. Bukankah status Pelabihan
Patimban adalah Pelabuhan Utama? Sudah selayaknya Patimban menjadi Pelabuhan
yang bisa dijadikan tempat naik-turunnya barang ekspor-impor. Dengan demikian,
ada geliat ekonomi di sana yang akan berdampak pada meningkatnya laju
pertumbuhan ekonomi Jabar.
Dengan fiscal gap yang menganga begitu besar dan keterbatasan Pendapatan Daerah, jangan pula mengeluarkan pembiayaan untuk pos yang tak jelas manfaatnya.
Terkait potensi
tambahan pendapatan dari PPH 21 dan 25 Badan, dibutuhkan political will dan
goodwill dari beberapa pihak terkait.
Semoga saja semua
bisa terealisasi sesuai dengan harapan sehingga target IKU dalam RPJPD dan
RPJMD nantinya bisa terealisasi. Jika Pendapatan Daerah meningkat, niscaya
janji KDM pun akan terwujud. Jabar akan menjadi Istimewa, di mana seluruh
rakyatnya akan menjadi Makmur dan Sejahtera.
Penulis : Drs.H. DADDY ROHANADY ( Anggota DPRD Jabar dari Fraksi Gerindra).