Ketua PWI Jawa Barat, Hilman Hidayat |
Acara ini berlangsung dengan
menghadirkan sejumlah tokoh penting di dunia jurnalisme untuk membahas
tantangan dan peluang jurnalisme dalam menghadapi disrupsi digital yang semakin
pesat.
Sarasehan ini dihadiri oleh
pembicara-pembicara terkemuka di dunia pers Indonesia, antara lain Agus
Sudibyo, Ketua Dewan Pengawas TVRI; Nurjaman Mochtar, Sekretaris Dewan Pakar
PWI Pusat; Dhimam Abror, Ketua Dewan Pakar PWI Pusat; dan Hilman Hidayat, Ketua
PWI Jawa Barat. Diskusi dipandu oleh Djoko Tetuko, Ketua Dewan Kehormatan PWI
Jatim di salah satu hotel di Pekanbaru, Sabtu 8 Februari 2025.
Selain pembicara hadir pula tokoh pers
nasional seperti Tribuana Said, Ilham Bintang, Atal S. Depari, Asro Kamal Rokan,
Dar Edi Yoga, Musrifah dan lainnya.
Ketua PWI Jawa Barat yang juga
Direktur Promedia Teknologi Indonesia Hilman Hidayat mengungkap kekhawatirannya
terkait masa depan jurnalisme di era digital.
Dia menegaskan dalam kondisi saat ini,
banyak media online yang menghadapi serangan siber, dari berbagai pihak yang
tidak terpikirkan sebelumnya.
"Tugas kita merawat marwah dari
jurnalisme apakah jurnalisme di era digital masih cerah atau makin suram? Tapi
jika melihat data yang saya kumpulkan kok makin suram," jelas Hilman.
Berdasarkan pengalaman, kata dia,
sebanyak 40 ribu konten kreator dan wartawan yang memproduksi 15 ribu berita
per hari. Telah banyak yang mendapat serangan dari hacker.
"Ada hal yang membahayakan kita
untuk membangun paham jurnalisme. Paham jurnalisme yakni menyebarkan informasi
berdasarkan data dan fakta secara objektif. Sementara dari pengalaman kami ada
ribuan berita yang dihack oleh pihak-pihak tertentu dalam sebulan, serangan
terhadap media online bisa mencapai ratusan mulai dari kepala desa sampai yang
berseragam," ujarnya.
Sementara itu, Agus Sudibyo, Ketua
Dewan Pengawas TVRI dan mantan anggota Dewan Pers, dalam pemaparannya
mengungkapkan fakta mengejutkan mengenai belanja iklan di Indonesia pada 2024
yang diperkirakan mencapai Rp 107,291 triliun, dengan dominasi iklan digital
sebesar 44,1%.
"Data belanja iklan Indonesia
2024 total Rp 107.291 triliun dimana iklan digital sebesar 44,1%, media online
17,3%, televisi 15,5%, media sosial 11,6%, retail media network 7,2%, dan media
cetak 4,3%," ujar Agus Sudibyo dalam pemaparannya.
Ia juga mencatat perusahaan besar
seperti Google dan Facebook menguasai 75-80% dari total belanja iklan digital
nasional, sementara media nasional hanya memperoleh sisanya.
"Di tengah fenomena ini, kita
perlu mempertanyakan, ke mana arah jurnalisme pers? Sementara saya yakin
meskipun tantangannya besar, kebutuhan akan informasi berkualitas dan
bertanggung jawab justru semakin besar," ujar Agus.
Agus melanjutkan dengan membahas
konsekuensi dari fenomena ini di mana Google dan Facebook menguasai sekitar
75-80% dari total belanja iklan digital nasional, semakin menunjukkan bahwa
media sosial dan platform digital menjadi kekuatan utama dalam perekonomian
iklan di Indonesia, yang secara tidak langsung telah menantang eksistensi media
mainstream.
Di balik fenomena tersebut, Agus juga
menyoroti sebuah hal yang lebih mendalam, yaitu kebutuhan masyarakat terhadap
informasi berkualitas dan bertanggung jawab yang semakin besar.
Meskipun media sosial terus berkembang
dan semakin mendominasi, Agus menegaskan bahwa media sosial tidak dapat
sepenuhnya menggantikan fungsi media tradisional dalam menyediakan informasi
yang akurat dan terverifikasi.
Agus pun memperingatkan tentang
fenomena berita hoaks yang marak di media sosial, yang sering kali memecah
belah masyarakat dan merusak integritas demokrasi.
"Tentu, kita tidak perlu terlalu
khawatir karena di tengah disrupsi ini, tetap ada kebutuhan yang kuat akan
informasi berkualitas dan jurnalisme yang bertanggung jawab. Media sosial tidak
bisa sepenuhnya menggantikan kebutuhan masyarakat akan informasi yang mendalam
dan berbasis fakta. Secara global, ada kekhawatiran yang sama, yakni media
sosial justru semakin memperburuk perpecahan di antara masyarakat, baik dalam
hal agama, dan politik," ujar Agus.
Agus juga menyinggung pentingnya model
distribusi konten yang adaptif. Ia menegaskan bahwa saat ini sangat tidak masuk
akal jika ada media yang tidak menggunakan media sosial sebagai saluran
distribusi konten.
Media sosial menjadi platform penting
untuk menjangkau audiens yang lebih luas, dan media tradisional harus mampu
memanfaatkan media sosial sebagai alat distribusi yang efektif tanpa kehilangan
kualitas dan integritas informasi.
Terakhir, Agus menutup komentarnya
dengan menyinggung fenomena yang disebutnya sebagai 'imperialisme digital' yang
menggambarkan dominasi beberapa perusahaan teknologi besar dalam menguasai
pasar digital global.
"Digitalisasi adalah fenomena
global yang dihadapi semua negara, tetapi surplus dari hasil digitalisasi ini
hanya dikuasai oleh beberapa perusahaan besar, terutama yang berasal dari satu
atau dua negara saja," jelasnya.
Secara keseluruhan, Agus Sudibyo
menegaskan bahwa meskipun media tradisional menghadapi tantangan berat di
tengah disrupsi digital, jurnalisme yang berbasis pada etika, kualitas, dan
tanggung jawab tetap memiliki peran yang tak tergantikan. Oleh karena itu,
industri media harus terus beradaptasi dengan perubahan teknologi dan dinamika
pasar, tetapi tetap berpegang pada prinsip-prinsip dasar jurnalisme yang sehat
dan bermanfaat bagi masyarakat.
Menurut Nurjaman, 80% sumber berita
konvensional kini berasal dari media sosial, dan semakin banyak instansi yang
membuat konten berita sendiri melalui portal dan media sosial mereka.
Ke depan perusahaan atau instansi
sumber berita akan membuat konten masing-masing serta menyimpannya di portal
dan sosial media masing-masing, sebab dengan AI membuat narasi atau video
berita bukan hal yang sulit lagi.
"Peran media mainstream ke
depannya jangan-jangan hanya berfokus pada verifikasi konten dan
pertanggungjawaban terhadap Dewan Pers," ujar Nurjaman yang juga pernah
Ketua Forum Pemred.
Tantangan ini, menurutnya, menuntut
wartawan untuk lebih kritis dan adaptif terhadap perubahan teknologi.
Dhimam Abror, Ketua Dewan Pakar PWI
Pusat, menekankan pentingnya preservasi jurnalisme sebagai sarana untuk
memperkuat demokrasi. Menurut Dhimam, ruang digital saat ini telah menjadi
tempat yang sangat strategis untuk berpartisipasi dalam pesta demokrasi,
terutama dalam memberikan informasi yang mendorong masyarakat untuk berpikir
kritis.
Dhimam juga mengungkapkan bahwa media
baru, yang lebih interaktif dan mudah diakses, telah membuka ruang bagi lebih
banyak partisipasi masyarakat dalam proses komunikasi dan pemberitaan. Oleh
karena itu, media harus tetap mempertahankan independensinya, akuntabilitas,
dan keberagaman dalam menyampaikan informasi.
"Ruang digital kini memungkinkan
masyarakat untuk berpikir lebih kritis terhadap peristiwa-peristiwa yang
terjadi, terutama dalam ranah politik. Tetapi, kita harus memastikan kualitas
informasi yang beredar tetap terjaga," ujar Dhimam.
Menurut Dhimam, media baru yang lebih interaktif membuka peluang bagi masyarakat untuk lebih terlibat dalam proses demokrasi, tetapi hanya jika media tetap menjaga prinsip independensi dan keberagaman dalam menyampaikan informasi. (*).